PENERAPAN TEKNOLOGI MAJU
BUDIDAYA BAWANG MERAH
Oleh :
Baswarsiati
PENDAHULUAN
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan nasional yang sejak lama
diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas ini merupakan sumber
pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi
terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Rp 2,7 triliun/tahun) dengan
potensi pengembangan areal cukup luas mencapai ± 90.000 ha (Dirjen Hortikultura, 2005).
Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 propinsi di Indonesia. Propinsi penghasil utama (luas areal panen > 1.000 hektar per tahun) bawang merah di antaranya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, D.I Jogya, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Kesembilan propinsi ini menyumbang 95,8 % (Jawa memberikan kontribusi 75 %) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2003. Konsumsi rata-rata
bawang merah untuk tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38
kg/kapita/bulan, menjelang hari raya keagamaan terjadi kenaikan konsumsi
sebesar 10-20 % (Dirjen Hortikultura, 2005).
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan nasional yang sangat fluktuatif harga maupun produksinya. Hal
ini terjadi karena pasokan produksi yang tidak seimbang antara panenan
pada musimnya serta panenan di luar musim, salah satu diantaranya
disebabkan tingginya intensitas serangan hama dan penyakit terutama bila
penanaman dilakukan di luar musim. Selain itu bawang
merah merupakan komoditas yang tidak dapat disimpan lama, hanya bertahan
3-4 bulan padahal konsumen membutuhkannya setiap saat (Baswarsiati et al, 1997).
Masalah yang dihadapi dalam usahatani bawang merah antara lain : 1) Ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat (waktu, jumlah dan mutu); 2)
Belum tersedia varietas unggul yang tahan terhadap penyakit utama; 3)
Penerapan teknik budidaya yang baik dan benar belum dilakukan secara
optimal; 4) Perbedaan produksi di musim kemarau dan musim hujan; 5)
Kelembagaan petani belum dapat menjadi pendukung usahatani; 6) Skala
usaha relatif masih kecil akibat sempitnya kepemilikan
lahan dan lemahnya permodalan; 7) Produktivitas cenderung mengalami
penurunan di beberapa sentra produksi; 8) Harga cenderung berfluktuasi
dan masih dikuasai tengkulak; 9) Serangan OPT semakin bertambah
(Baswarsiati et al, 1999, 2000; Setiawati et al, 2005).
Dalam
rangka memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan untuk ekspor
diperlukan produk yang mempunyai kualitas baik dan aman dikonsumsi. Untuk
memenuhi hal tersebut maka proses produksi perlu dilakukan secara baik
sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO) berbasis norma budidaya yang
baik dan benar (Good Agriculture Practices/GAP). Sehingga diharapkan tidak banyak lagi petani
yang melakukan proses produksi tanpa memperhatikan hal tersebut karena
efisiensi ekonomis tidak akan diperoleh jika tetap menggunakan pestisida
dan pemupukan anorganik secara berlebihan sehingga tidak efisien.