PENERAPAN TEKNOLOGI MAJU
BUDIDAYA BAWANG MERAH
Oleh :
Baswarsiati
PENDAHULUAN
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan nasional yang sejak lama
diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas ini merupakan sumber
pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi
terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Rp 2,7 triliun/tahun) dengan
potensi pengembangan areal cukup luas mencapai ± 90.000 ha (Dirjen Hortikultura, 2005).
Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 propinsi di Indonesia. Propinsi penghasil utama (luas areal panen > 1.000 hektar per tahun) bawang merah di antaranya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, D.I Jogya, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Kesembilan propinsi ini menyumbang 95,8 % (Jawa memberikan kontribusi 75 %) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2003. Konsumsi rata-rata
bawang merah untuk tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38
kg/kapita/bulan, menjelang hari raya keagamaan terjadi kenaikan konsumsi
sebesar 10-20 % (Dirjen Hortikultura, 2005).
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan nasional yang sangat fluktuatif harga maupun produksinya. Hal
ini terjadi karena pasokan produksi yang tidak seimbang antara panenan
pada musimnya serta panenan di luar musim, salah satu diantaranya
disebabkan tingginya intensitas serangan hama dan penyakit terutama bila
penanaman dilakukan di luar musim. Selain itu bawang
merah merupakan komoditas yang tidak dapat disimpan lama, hanya bertahan
3-4 bulan padahal konsumen membutuhkannya setiap saat (Baswarsiati et al, 1997).
Masalah yang dihadapi dalam usahatani bawang merah antara lain : 1) Ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat (waktu, jumlah dan mutu); 2)
Belum tersedia varietas unggul yang tahan terhadap penyakit utama; 3)
Penerapan teknik budidaya yang baik dan benar belum dilakukan secara
optimal; 4) Perbedaan produksi di musim kemarau dan musim hujan; 5)
Kelembagaan petani belum dapat menjadi pendukung usahatani; 6) Skala
usaha relatif masih kecil akibat sempitnya kepemilikan
lahan dan lemahnya permodalan; 7) Produktivitas cenderung mengalami
penurunan di beberapa sentra produksi; 8) Harga cenderung berfluktuasi
dan masih dikuasai tengkulak; 9) Serangan OPT semakin bertambah
(Baswarsiati et al, 1999, 2000; Setiawati et al, 2005).
Dalam
rangka memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan untuk ekspor
diperlukan produk yang mempunyai kualitas baik dan aman dikonsumsi. Untuk
memenuhi hal tersebut maka proses produksi perlu dilakukan secara baik
sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO) berbasis norma budidaya yang
baik dan benar (Good Agriculture Practices/GAP). Sehingga diharapkan tidak banyak lagi petani
yang melakukan proses produksi tanpa memperhatikan hal tersebut karena
efisiensi ekonomis tidak akan diperoleh jika tetap menggunakan pestisida
dan pemupukan anorganik secara berlebihan sehingga tidak efisien.
BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM USAHATANI BAWANG MERAH
1 Belum cukup tersedia varietas unggul bawang merah yang resisten terhadap hama dan penyakit penting serta sesuai pada musim hujan
Sampai saat ini belum tersedia varietas unggul bawang merah yang resisten terhadap hama dan penyakit penting kecuali varietas Sumenep. Sayangnya
varietas Sumenep belum disukai konsumen bawang merah karena penampilan
umbinya kurang menarik dengan warna umbi kekuningan dan bentuk umbinya
lonjong dan kecil. Namun somaklonal dari varietas Sumenep dapat menghasilkan umbi dengan ukuran yang lebih besar dari varietas aslinya dan warna umbi merah muda. Selain itu varietas Sumenep sangat renyah dan enak untuk bawang goreng. Dan
nampaknya hasil somaklonal varietas Sumenep mempunyai daya adaptasi
yang luas pada beberapa agroekologi di dataran rendah hingga dataran
tinggi (Baswasiati et al, 2000)
Varietas
bawang merah yang selama ini ditanam oleh petani umumnya varietas yang
sesuai ditanam di musim kemarau saja namun rentan terhadap serangan hama
ulat bawang serta penyakit penting pada bawang merah. Seperti halnya 8
varietas unggul yang telah dilepas Pemerintah antara lain varietas Bima
Brebes, Maja, Keling, Medan , Super Philip, Kramat-1, Kramat-2 , Kuning
dan Batu Ijo hanya sesuai untuk musim kemarau. Sedangkan varietas unggul bawang merah yang sesuai pada musim hujan dan telah dilepas Pemerintah hanya varietas Bauji . Usahatani
bawang merah pada musim kemarau menghasilkan pasokan produksi yang
tinggi karena cukup banyak ragam varietas yang dapat ditanam di musim
kemarau. Seperti halnya di sentra produksi Brebes, petani menanam beragam varietas bawang merah yang ada , termasuk varietas Sumenep.
2. Ketergantungan petani bawang merah terhadap benih impor
Dalam
usahatani bawang merah, benih merupakan salah satu faktor produksi yang
memerlukan biaya tinggi, dengan kebutuhan benih sekitar 800-1.200
kg/ha. Tingginya kebutuhan benih bawang merah baik dalam
bentuk benih komersial maupun benih sumber , ternyata belum diikuti
produksi benihnya. Selain itu petani bawang merah di Indonesia nampaknya
sangat tergantung terhadap benih impor seperti varietas dari Philipina,
Thailand, India dan Vietnam (berkembang di daerah Brebes). Padahal
benih impor varietas bawang merah yang tersebar di Indonesia merupakan
bawang merah untuk konsumsi. Hal ini karena belum banyak produsen yang mau bergerak di bidang perbenihan bawang merah. (Indrawati dan Padmono, 2001) . Kendala
tersebut disebabkan antara lain : a) usaha perbenihan bawang merah
membutuhkan modal yang cukup tinggi dan areal serta gudang yang luas, b)
pengetahuan dan ketrampilan SDM terutama dalam produksi benih masih
rendah , c) daya simpan benih bawang merah rendah (2-5 bulan ) dengan
susut bobot yang tinggi , d) permasalahan penyimpanan benih dapat
diatasi dengan pembentukan benih berupa biji, sayangnya ketrampilan ini
cukup sulit disosialisasikan pada petani.
3. Adanya OPT yang menyerang pada musim kemarau dan musim hujan menyebabkan fluktuasi produksi
Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) pada tanaman bawang merah merupakan salah satu
hal penting yang perlu diperhatikan karena tercatat 13 jenis OPT . Potensi
kehilangan hasil oleh OPT utama , pada bawang merah menduduki tingkat
pertama sebesar 138,4 milyar dibandingkan dengan komoditas lainnya
seperti cabai, kubis, kentang dan tomat. Kehilangan hasil karena OPT tersebut dapat mencapai 20-100 % (Adiyoga et al, 2004)
Fluktuasi produksi selalu terjadi pada usahatani bawang merah yang disebabkan adanya perbedaan produksi di musim kemarau dan musim hujan. Pada musim hujan intensitas serangan penyakit seperti Fusarium, Alternaria dan Antraknose semakin tinggi. Sehingga
kegagalan panen sering terjadi pada musim hujan. Hal ini disebabkan
pada musim hujan, kelembaban udara lebih tinggi dibandingkan musim
kemarau sehingga intensitas serangan penyakit lebih tinggi. Sedangkan
pada musim kemarau suhu udara lebih tinggi dibandingkan musim hujan
sehingga intensitas serangan hama lebih tinggi dibandingkan intensitas
serangan penyakit (Rosmahani et al, 1998) Oleh karenanya produktivitas di musim hujan semakin menurun dan pasokan produksi juga menurun sehingga terjadi fluktuasi harga. Sehingga diperlukan adanya varietas bawang merah yang sesuai untuk musim kemarau dan musim hujan.
4. Kendala dalam hal sosialisasi dan substitusi varietas unggul bawang merah
Nampaknya selera produsen dan konsumen bawang merah di beberapa wilayah sentra produksi di Indonesia cukup beragam dalam memilih dan mengembangkan suatu varietas. Konsumen
dan produsen bawang merah di Jawa Timur sangat menyukai varietas Super
Philip karena produktivitasnya tinggi, umbi besar dan bulat, warna umbi
menarik – merah keunguan mengkilat walaupun rasanya tidak terlalu pedas. Oleh
karenanya varietas Super Philip menyebar merata pada semua areal
pertanaman bawang merah di Jawa Timur dengan luasan 25.000 hektar dan
selalu dijumpai di pasar wilayah Jawa Timur. Untuk
varietas Bauji dan Batu Ijo saat ini mulai banyak dilirik oleh petani
di luar wilayah asalnya bahakan di luar propinsi Jawa Timur.
Sedangkan
di wilayah Kabupaten Brebes sebagai sentra produksi bawang merah
terbesar di Indonesia (dengan luas areal tanam 16.993 hektar) dan di
Jawa Tengah pada umumnya (dengan luas areal tanam 55.578 hektar)
terdapat varietas bawang merah yang beragam (Diperta Propinsi Jateng,
2001). Varietas-varietas yang dikembangkan di Jawa Tengah
terdiri dari varietas lokal dan varietas introduksi , antara lain : Bima
Brebes, Kuning, Sumenep, Ampenan, Maja Cipanas, Medan, Tawangmangu
Baru, Super Philip, India, Thailan dan Vietnam (Indrawati dan Padmono,
2001). Hal ini menunjukkan perbedaan selera konsumen dan produsen di beberapa wilayah yang mempengaruhi terhadap perkembangan suatu varietas unggul/varietas baru.
TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH
Untuk
memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan untuk ekspor diperlukan
produk bawang merah yang mempunyai kualitas baik dan aman dikonsumsi. Untuk
memenuhi hal tersebut maka proses produksi perlu dilakukan secara baik
sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO) berbasis norma budidaya yang
baik dan benar (Good Agriculture Practices/GAP). Tata cara atau langkah-langkah di dalam budidaya bawang merah dapat
mengikuti anjuran yang telah disusun sesuai rekomendasi teknologi
maupun yang telah disusun dalam bentuk SPO (Standar Prosedur
Operasional) bawang merah sebagai berikut :
- Pemilihan Lokasi
- Persiapan Benih
- Penentuan waktu tanam
- Persiapan Lahan
- Penanaman
- Pemupukan
- Pengairan
- Pemeliharaan (pendangiran dan penyiangan)
- Pengendalian OPT
- Panen
- Pasca Panen
- Penyimpanan
- Pengemasan dan Distribusi
§ PEMILIHAN LOKASI
Persyaratan
kesesuaian agroekologi untuk usahatani bawang merah terutama ditentukan
oleh kelembaban, tekstur, struktur dan kesuburan tanah. Secara
umum tanaman bawang merah memerlukan bulan kering 4-5 bulan , curah
hujan 1000-1500 mm/th, drainase dan kesuburan baik, tekstur lempung
berpasir dan struktur tanah remah (Widjajanto et al, 1998). Sedangkan
setiap varietas bawang merah mempunyai daya adaptasi yang lebih khusus
pada agroekologi tertentu , seperti halnya varietas Super Philip dan
Bauji.
Bawangmerah
varietas Super Philip dapat diusahakan mulai di dataran rendah hingga
di dataran tinggi, yaitu 20 m – 1000 m dpl. Sangat sesuai ditanam di
musim kemarau dengan sinar matahari dibutuhkan sebanyak-banyaknya dan
lahan tidak ternaungi. Tanah yang diinginkan yaitu berdrainase baik dan
kesuburan tinggi, tekstur lempung berpasir dan struktur remah dengan pH
6-6,5. Dapat dibudidayakan di lahan sawah, lahan kering
atau lahan tegalan, dengan jenis tanah bervariasi dari Aluvial, Latosol
dan Andosol (Baswarsiati et al, 1997, 1998).
Bawangmerah
varietas Bauji dapat diusahakan di dataran rendah yaitu 20 m –400 m dpl
,sangat sesuai ditanam di musim hujan.. Tanah yang diinginkan
berdrainase baik dan kesuburan tinggi, tekstur lempung berpasir dan
struktur remah dengan pH 6-6,5. Dapat dibudidayakan di lahan sawah, dengan jenis tanah bervariasi dari Aluvial, Latosol dan Andosol (Baswarsiati et al , 1997, 1998).
Sedangkan varietas Batu Ijo sesuai ditanam di dataran tinggi 1000-1500 m dpl pada musim kemarau. Tanah yang diinginkan berdrainase baik dan kesuburan tinggi, tekstur lempung berpasir dan struktur remah dengan pH 6-6,5. Dapat dibudidayakan di lahan sawah, dengan jenis tanah bervariasi dari Aluvial, Latosol dan Andosol (Baswarsiati et al , 1998).
· PERSIAPAN BENIH
Benih merupakan salah satu kunci utama dalam keberhasilan suatu usahatani . Adapun persyaratan benih bawang merah yang baik antara lain :
· Umur
simpan benih cukup yaitu sekitar 3-4 bulan, walaupun untuk umur simpan
yang lebih muda benih tetap tumbuh namun pada pertumbuhan berikutnya
akan lebih rendah hasilnya dibandingkan benih yang telah siap tanam
(telah cukup umur simpannya).
· Umur panen saat calon umbi benih ditanam di lapang tepat , untuk varietas Bauji maupun Super Philip sebaiknya 75-80 hari
· Ukuran benih sedang , sekitar 5-6 gram. Sedangkan untuk Batu Ijo berkisar 12-18 gram. Penggunaan benih yang berukuran terlalu besar akan meningkatkan biaya karena kebutuhan semakin banyak
· Kebutuhan benih setiap hektar berkisar 800 – 1000 kg , tergantung dari ukuran umbi.
· Umbi benih berwarna cerah, dengan kulit mengkilat
· Umbi benih bernas , sehat, padat , tidak keropos dan tidak lunak. Bila ada umbi benih yang tidak mempunyai sifat demikian sebaiknya tidak digunakan .
· Umbi benih tidak terserang hama dan penyakit
· Sebelum
ditanam, umbi benih dibersihkan dulu dari kulit-kulit yang kering dan
bila pertunasan belum kelihatan diujung umbi, maka sebaiknya ujung umbi
dipotong 1/3 agar mempercepat munculnya tunas
Terdapat
tiga varietas unggul bawang merah asal Jawa Timur yang telah dilepas
oleh Menteri Pertanian yaitu varietas Super Philip (introduksi dari
Philipina) , varietas Bauji (asal Nganjuk) serta varietas Batu Ijo (asal
Batu). Ketiga varietas tersebut memiliki spesifikasi sebagai berikut :
Varietas Super Philip (dilepas menjadi varietas unggul oleh Mentan tahun 2000)
· Sangat disukai produsen dan konsumen
§ Produktivitas tinggi (20-25 t/ha umbi kering)
§ Ukuran umbi sedang (8-10 g), warna merah keunguan menarik, bentuk umbi bulat
§ Rasa dan aroma sedang
§ Sifat adaptasi luas , sesuai untuk lahan sawah, lahan kering, lahan tegal
§ Sangat sesuai ditanam musim kemarau
§ Sesuai untuk dataran rendah dan tinggi 20-1000 m dpl
Varietas Bauji (dilepas menjadi varietas unggul oleh Mentan tahun 2000)
§ Sangat sesuai untuk musim hujan
§ Merupakan varietas lokal Nganjuk
§ Produktivitas tinggi di musim hujan (20 t/ha umbi kering)
§ Ukuran umbi sedang (6-10 g), warna merah keunguan, bentuk umbi bulat lonjong, daun tebal
§ Sesuai untuk lahan sawah di dataran rendah (20-400 m dpl)
§ Agak tahan terhadap serangan Fusarium
§ Cukup digemari oleh konsumen
Varietas Batu Ijo (dilepas menjadi varietas unggul oleh Mentan tahun 2005)
• Asal lokal Batu dan telah berkembang puluhan tahun
• Umbi besar seperti bawang Bombay
• Ukuran umbi 15-25 gram
• Tanaman kekar, berdaun lebar
• Jumlah anakan sedikit, 2-5 anakan/rumpun
• Sesuai ditanam di musim kemarau
• Sesuai ditanam di dataran rendah hingga dataran tinggi (20-1300 m dpl)
• Produksi 15 t/ha umbi kering
PENGOLAHAN TANAH
Bawang merah membutuhkan kondisi tanah yang lebih gembur dibanding tanaman sayuran lainnya . Oleh karenanya pengolahan tanah pada bawang merah dilakukan sampai beberapa kali hingga tanah benar-benar menjadi gembur. Bila
tanah yang digunakan merupakan tanah bekas ditanami jagung maupun tebu,
maka sisa tanaman tersebut harus dibersihkan hingga akar-akarnya supaya
tidak mengganggu pertumbuhan bawang merah. Tanah diolah dengan cara
dibajak lebih dari 4 kali hingga tanah menjadi gembur dan tanah
dikeringkan lebih dari seminggu Kemudian tanah dihaluskan lagi, setelah
remah/gembur dapat dibuat bedengan (untuk tanah debu berpasir) dengan
ukuran : lebar bedengan 180 – 200 cm, panjang menyesuaikan kondisi lahan. Jarak antar bedengan 50-60 cm dan kedalaman 30 cm. Got keliling dengan lebar 60 cm dan kedalaman 50 cm
Pada
budidaya bawang merah sangat diperlukan pembentukan bedengan, dimana
adanya bedengan berfungsi agar tanaman bawang merah tidak selalu
tergenang air , dan air yang disiramkan segera habis terserap. Setelah bedengan terbentuk, maka ditaburi pupuk organik (pupuk kotoran ternak/kompos ). Dosis untuk kotoran ayam sebanyak 5 ton/ha, sedangkan untuk kotoran sapi maupun kambing sekitar 10-15 ton/ha. Namun dosis ini bisa menjadi lebih banyak maupun lebih sedikit tergantung dari kesuburan tanah.
Pupuk
kandang sebanyak 10 ton/ha atau kompos 5 ton/ha yang diberikan
bersamaan dengan pembuatan bedengan merupakan perlakuan pemberian pupuk
dasar . Selain itu diberikan juga pupuk SP
36 dengan dosis 200 kg/ha sebagai pupuk dasar , yang ditaburkan merata
pada seluruh permukaan bedengan. Setelah tanah dipupuk maka tanah diairi agar pupuk dapat meresap ke dalam tanah. Petani di wilayah Nganjuk juga memberikan pupuk KCL 200 kg , Urea 50 kg per hektar sebagai pupuk dasar .
PENANAMAN
Saat tanam yang tepat untuk bawang merah yaitu pada akhir musim hujan bulan
Maret – April dan musim kemarau Mei – Juni, tetapi di daerah pusat
produksi dapat dijumpai penanaman bawang merah tanpa mengenal musim, Untuk penanaman di luar musim (off season) perlu memperhatikan pengendalian hama dan penyakit lebih cermat.
Penanaman dilakukan setelah tanah dan benih dipersiapkan, dimana sebelum dilakukan penanaman, tanah harus diari agar saat penanaman kondisi tanah gembur Seperti
yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa benih sebelum ditanam lebih
baik dibersihkan dan diseleksi terlebih dulu agar pertumbuhan tanaman
menjadi baik. Bila tidak diseleksi ditakutkan tercampurnya
benih yang jelek karena terserang penyakit seperti Fusarium sehingga
mengakibatkan pertanaman hancur karena Fusarium tersebut.
Untuk mempercepat proses penanaman, maka sebaiknya bedengan yang akan ditanami sudah digariti sesuai dengan jarak tanam yang digunakan , sehingga penanaman lebih mudah dilaksanakan. Jarak tanam yang dianjurkan yaitu 20 cm x 15 cm, namun bila umbi benih besar maka dapat menggunakan jarak tanam 20 x 20 cm. Penanaman dilakukan dengan cara menanam 2/3 bagian umbi ke dalam tanah, sedangkan 1/3 bagiannya muncul di atas tanah.
PEMUPUKAN
Pemupukan pada bawang merah sangat dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan produksi umbi yang lebih baik. Namun
pemupukan tidak perlu diberikan secara berlebihan karena pupuk malahan
akan terbuang dengan percuma. Seperti misalnya setelah tanaman membentuk
umbi, maka sebaiknya pemupukan dihentikan. Terkadang ada
petani yang tetap memberikan pupuk walaupun tanaman telah berumur diatas
40 hari, dan ini hanya membuang pupuk dengan sia-sia.
Dosis pupuk
Dosis
pupuk sebenarnya bukan merupakan patokan yang harus ditepati, karena
memupuk suatu tanaman akan berbeda pada setiap kondisi kesuburan tanah
yang berbeda. Namun dosis pupuk yang dapat dianjurkan
pada jenis tanah aluvial , seperti berikut : Pupuk dasar menggunakan 10
t/ha pupuk kandang yang diberikan 7 hari sebelum tanam dan SP 36 200 kg/ha. Sedangkan
pemupukan berikutnya menggunakan pupuk urea 200 kg/ha, ZA 450 kg/ha dan
KCl 200 kg/ha yang diberikan separo-separo pada saat tanaman berumur 15
hari dan 30 hari setelah tanam. Cara pemupukan dengan meletakkan pada
larikan di sekitar tanaman, kemudian ditutup dengan tanah.
Adapun
petani kecamatan Rejoso kabupaten Nganjuk pada umumnya memberikan pupuk
susulan I berupa KCL 50 kg/ha, ZA 100 kg/ha dan Urea 50 kg/ha. Sedang pupuk susulan II yaitu ZA 300 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Dengan pemupukan ini hasil umbi bawang merah yang diperoleh berkisar 25 ton/ha.
Pemberian
pupuk pelengkap yang banyak beredar di pasar sebenarnya kurang
bermanfaat bagi peningkatan pertumbuhan dan produksi bawang merah. Namun pupuk pelengkap tersebut hanya sebagai tambahan nutrisi pelengkap karena pada umumnya mengandung unsur mikro. Untuk tanaman bawang merah, unsur mikro kurang diperlukan karena tanaman bawang merah berumur pendek yaitu sekitar 60-70 hari. Sedangkan
unsur mikro proses pelarutannya dan penyerapannya ke dalam tanaman lama
sehingga lebih sesuai bagi tanaman sayuran yang berumur panjang seperti
cabai atau tomat.
PENGAIRAN
Bawang merah membutuhkan air dalam kondisi yang cukup sejak pertumbuhan awal hingga menjelang panen. Air yang diberikan pada tanaman walaupun dengan cara penggenangan/leb, namun harus segera meresap ke dalam tanah. Bila tidak demikian maka tanaman akan menjadi busuk dan sebagai sumber penyakit. Oleh karena itu pembuatan bedengan sangat diperlukan pada budidaya bawang merah . Hal
ini berhubunga sifat tanaman bawang merah yang membentuk umbi di dalam
tanah sehingga air yang terlalu banyak akan membuat umbi menjadi busuk .
Pada
musim kemarau , pengairan dapat diberikan setiap hari sejak tanaman
ditanam hingga tanaman berumur 7 hari setelah tumbuh dan dikurangi
setelah umbi terbentuk hingga menjelang panen dihentikan. Namun
walaupun musim kemarau , bila kondisi tanah setelah diairi dan selang
dua hari tanah masih basah, maka tanaman tidak perlu diairi. Oleh karena itu dituntut kepekaan petani dalam mengamati kebutuhan air bagi tanamannya.
Untuk musim hujan pengairan yang dibutuhkan lebih sedikit yaitu selang dua hari sekali. Seperti di atas maka yang penting melihat kondisi kelembaban tanah, bila tanah masih lembab sebaiknya tidak perlu diairi. Yang
penting diamati yaitu setelah turun hujan, sebaiknya tanaman bawang
merah disirami dengan air bersih yang tujuannya untuk menghilangkan
inokulum dari penyakit yang kemungkinan menempel di daun.
Cara pengairan dapat dilakukan dengan penggenangan/leb maupun dengan cara disiram/disirat. Kedua cara tersebut sebenarnya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk
cara leb sebaiknya dilakukan pada kondisi tanah yang porous, sehingga
air yang tergenang cepat habis (tuntas), walaupun cara ini membutuhkan
waktu yang lebih pendek dibandingkan cara disiram. Sedangkan cara siram membutuhkan tenaga lebih banyak dan waktu lebih lama. Namun di daerah tertentu kedua cara tersebut juga dilakukan bersamaan .
PEMELIHARAAN TANAMAN
Pemeliharaan tanaman pada bawang merah meliputi pendangiran (pembumbunan) maupun penyiangan gulma. Pendangiran/pembumbunan bertujuan agar struktur tanah tetap terjaga sehingga pertumbuhan tanaman optimal. Pendangiran
tanah di sekitar tanaman untuk memperbaiki /meninggikan guludan yang
sekaligus membersihkan lahan dari akar gulma yang masih tertinggal pada
saat penyiangan dan dilakukan pada pemupukan susulan 2 dan 3.
Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang menyebabkan tanaman utama terganggu pertumbuhannya. Untuk
tanaman bawang merah yang umbinya terbentuk di dalam tanah maka
kehadiran gulma sangat mengganggu karena pembersihan gulma harus
hati-hati dan ditakutkan mengenai dan mengganggu umbinya. Pembersihan
gulma dilakukan dengan cara menyiang dengan intensif sesuai dengan
kondisi gulma yang ada dengan cara mencabut gulma sampai terangkat
akar-akarnya serta menggunakan herbisida pra tumbuh dengan dosis sesuai
anjuran.
Cara membersihkan dan mencabut gulma harus hati-hati supaya tidak mengganggu tanaman bawang merah apalagi bila sudah berumbi. Pembersihan biasanya menggunakan alat seperti sosrok bambu kecil sehingga gulma dapat terangkat sampai ke akarnya. Bila tanaman sudah membentuk umbi yang agak besar maka sebaiknya pengendalian gulma dihentikan.
PENGENDALIAN OPT
Hama penting yang menyerang tanaman bawang merah antara lain ulat bawang (Spodoptera exigua), lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis), Thrips (Thrips tabaci), ulat grayak (Spodoptera litura). Sedangkan penyakit penting pada bawang merah yaitu layu Fusarium (Fusarium oxysporum), becak ungu (Alternaria porri), becak daun (Cercospora duddiae), Antraknose (Colletotrichum gloesporiodes). Potensi kehilangan hasil oleh OPT utama bawang merah dapat mencapai 138,4 milyar pada tahun 2004 dan menduduki peringkat pertama dibandingkan komoditas sayur lainnya seperti cabai , kubis, kentang dan tomat. Kehilangan hasil karena OPT tersebut dapat mencapai 20 – 100 %.
Tabel 1. OPT yang menyerang tanaman bawang merah
Stadia Tanaman
|
Hama
|
Penyakit
|
Tanaman Muda (1-4 MST)
|
· Orong-orong (Gryllotalpa spp.)
· Ulat bawang (Spodoptera exigua)
· Ulat grayak (Spodoptera litura)
· Lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis)
|
· Layufusarium (Fusarium oxysporum)
|
Tanaman Tua (5-9MST)
|
· Thrips (Thrips tabaci)
· Ulat bawang (Spodoptera exigua)
· Lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis)
|
· Becak ungu (Alternaria porri)
· Downy mildew (Peronospora destruktor)
· Becak daun cercospora (Cercospora duddiae)
· Antraknose (Colletotrichum gloesporiodes)
· Layufusarium (Fusarium oxysporum)
· Nematoda (Dytylenchus dissaci)
|
Umbi di Gudang
|
Ngengat Gudang (Ephestia cautella)
|
Sumber : Adiyoga et al, 2000
Kondisi Pengendalian Saat Ini
Penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama ulat S. exigua
masih menjadi andalan utama para petani, sehingga insektisida menjadi
jaminan utama untuk keberhasilan usahatani. Menurut Stallen dkk.(1990)
di sentra produksi bawang merah, petani umumya mengendalikan ulat dengan
menggunakan insektisida yang beredar di pasaran dengan frekuensi dan
dosis yang cukup tinggi. Volume larutan insektisida yang digunakan pada
setiap aplikasi berkisar 560 – 1.588 liter per ha. Petani melakukan
penyemprotan secara berkala 3 – 4 hari sekali, sehingga dalam satu musim
tanam melakukan penyemprotan 15 – 20 kali (Dibyantoro, 1995), bahkan
pada musim tanam bulan Agustus interval penyemprotan meningkat menjadi 1
– 2 hari sekali, sehingga dalam satu musim tanam dapat mencapai 50 kali
aplikasi insektisisda (Rosmahani et al., 1998). Jika udara panas terus menerus, maka pengendalian ulat dengan cara
mekanis ( mengambil dan membuang kelompok telur maupun ulat) dan dengan
cara aplikasi insektisida (interval 1 –2 hari sekali) tetap tidak dapat
mengendalikan populasi ulat S. exigua yang meningkat cepat dalam waktu satu minggu dapat menyebabkan tanaman bawang merah puso (Rosmahani et al., 2001)
Alternatif Pengendalian
Sampai
saat ini telah banyak hasil penelitian yang menyajikan komponen
-komponen pengendalian yang dapat dirakit dalam satu pengendalian secara
PHT diantaranya adalah penerapan budidaya tanaman sehat, pergiliran
tanaman, penanaman serentak, pengendalian secara mekanis, penggunaan
seks feromon, penggunaan alat perangkap yang tepat (kerodong kasa, lampu
perangkap, perangkap likat kuning), pengendalian secara
hayati. Namun jika lingkungan sudah kurang sesuai bagi pertanaman bawang
merah, terutama pada saat tanam bulan Agustus, yang pada saat tersebut
temperatur udara sangat panas ( diatas 29 °
C), tidak ada curah hujan, sumber infeksi hama sudah tersedia di
sekitar pertanaman karena sudah ada pertanaman sejak awal musim kemarau,
populasi hama dapat meningkat dengan sangat cepat dalam waktu 1-2 hari
diperlukan alternatif komponen pengendalian yang lain.
Penggunaan Perangkap Likat Kuning
Untuk mengendalikan Lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis) dapat menggunakan Perangkap Likat Kuning yang
berperekat (oli) terbuat dari kertas atau plastik kuning dengan ukuran
16 cm x 16 cm kemudian ditempelkan pada triplek atau kaleng dengan
ukuran yang sama lalu dipasang pada tiang bambu dengan tinggi 60 cm. Jumlah perangkap untuk setiap hektar pertanaman bawang merah sekitar 80-100 buah.
Penggunaan Kerodong Kasa
Kasa dibuat dari bahan plastik dengan ukuran lubang 17 mesh. Pengendalian
dengan cara ini sudah mulai dilakukan oleh petani di Kab. Probolinggo
sejak 6 – 8 tahun terakhir, dikombinasikan monitoring serangan ulat ,
dua kali seminggu, pengendalian mekanis yaitu mengambil
dan membuang kelompok telur dan ulat yang ada pada daun dan permukaan
atas kerodong kasa, aplikasi insektisida 1 – 2 kali per musim tanam jika
serangan hama thrips meningkat. Penggunaan kerodong kasa ini dapat
mengurangi bahkan meniadakan penggunaan insektisida kimia,
sehingga efek negatif penggunaan insektisida juga dapat ditiadakan.
Kerodong kasa dapat diterapkan pada luasan pertanaman yang sempit maupun
yang luas namun pada umumnya ukuran kerodong kasa yang diterapkan oleh
petani per unit antara 500 m2 sampai 2000 m 2.
Keberhasilan pengendalian hama ulat dengan menggunakan kerodong kasa ini
dapat mencapai 100 % dan bawang merah dapat dipanen dengan hasil
optimal.
Keberhasilan kerodong kasa pada usahatani bawang merah ini adalah sebagai barier fisik bagi masuknya hama ulat S. exigua pada pertanaman bawang merah. Ukuran lubang bahan kerodong kasa adalah sebesar 17 mesh, sehingga ngengat yang datang tidak dapat masuk kedalam pertanaman bawang merah.
Jika ngengat hinggap pada permukaan bagian atas kerodong kasa dan
bertelur maka masih ada kemungkinan telur untuk jatuh pada daun bawang
merah di dalam kerodong kasa. Hal ini dapat ditanggulangi dengan
pengendalian mekanis yaitu dengan mengambil dan membuang kelompok telur
yang ada pada tanaman bawang merah. Secara tidak langsung secara
ekologis kerodong kasa dapat membantu memperbaiki lingkungan tumbuh bawang merah pada saat musim kemarau (saat tanam bulan Agustus). Pada saat tanam tersebut udara panas dan kering , dengan temperatur udara > 30 °C. Pada kondisi udara yang panas dan kering daun bawang merah dapat mengalami respirasi yang tinggi
(Sumami dan Rosliani, 1995), keadaan ini menyebabkan tanaman menjadi
lemas, dan lemah. Penggunaan kerodong kasa secara fisik juga dapat
mengurangi intensitas sinar matahari dan respirasi
tanaman sehingga pertumbuhan tanaman bawang merah dapat berlangsung
dengan normal sehingga dapat menghasilkan umbi dengan baik. Selain itu
penggunaan kerodong kasa menyebabkan pengurangan penggunaan insektisida dalam jumlah besar sehingga juga dapat menekan efek negatif insektisida baik di lapangan maupun di tingkat kosumen.
Tabel 2. Hasil analisis usahatani bawang merah dengan menggunakan kerodong kasa, Probolinggo 2005.
No
|
Uraian
|
Kebutuhan (jumlah)
|
Satuan harga
|
Cara Pengendalian
|
|
Kerodong
|
Pestisida
|
||||
1
|
Pengendalian
· Kerodong + pestisida 3-5 kali/musim
· Dg pestisida , frekuensi 25-30 kali/musim
|
504.000
|
7.029.000
|
||
2
|
Biaya kerodong tanaman (10 kali pemakaiansebesar Rp 13.942.500 atau 1 kali pemakaian Rp 1.394.500)
|
1.394.500
|
|||
Total Biaya
|
1.898.500
|
7.029.000
|
|||
3
|
Panen
Kerodong
Pestisida
|
10.300 kg
9.960 kg
|
4.800
4.800
|
49.440.000
|
47.808.000
|
Keuntungan
|
47.541.500
|
40.779.000
|
Sumber. Anonim, 2005
Penggunaan Lampu Perangkap
Selain
penggunaan kerodong kasa , petani Nganjuk juga berkiprah dalam
menggunakan trap dengan lampu untuk mengendalikan hama ulat bawang. Hasilnya sangat menggembirakan karena dapat menekan tingkat kerusakan hingga 74-81 %. Perngkap
lampu neon (TL 10 watt) dengan waktu nyala jam 18.00 sampai jam 24.00
paling efisien untuk menangkap imago dan menekan serangan Spodoptera exigua pada bawang merah. Implementasi penggunaan lampu perangkap pada luasan 1 ha dibuthkan 30 titik, jarak pemasangan 20 m x 15 m. Waktu pemasangan dan penyalaan lampu 1 minggu sebelum tanam sampai dengan menjelang panen (60 hari) . Tinggi
pemasangan lampu antara 10-15 cm di atas bak perangkapedangkan mulut
bak perangkap tidak boleh lebih dari 40 cm di atas pucuk tanaman bawang
merah (Setiawati dan Udiarto, 2005).
Tabel 3. Hasil analis usahatani bawang merah dengan menggunakan lampu perangkap. Nganjuk, 2004.
No
|
Uraian
|
Satuan Biaya dan Penghasilan Sesuai Cara Pengendalian
|
|
Perangkap Lampu
|
Tanpa Lampu
|
||
1
|
· Biaya pemasangan lampu 30 titik @ Rp 35.000 (lampu neon, kayu, paku, kabel, rekening listrik)
· Pengendalian dg insektisida
· Pada daerah dipasang lampu sebanyak 2 kali
· Pada daerah tidak dipasang sebanyak 20 kali
|
1.050.000
600.000
|
6.000.000
|
2
|
Total Biaya
|
1.650.000
|
6.000.000
|
Produksi riil
· Pakai lampu (24.000 kg @ Rp 2.200)
· Tanpa lampu (23.000 kg @ Rp 2.200)
|
52.800.000
|
50.600.000
|
|
3
|
Pendapatan Petani
|
51.150.000
|
44.600.000
|
Selisih keuntungan
|
6.550.000
|
Sumber. Anonim, 2005
PANEN
Penentuan Saat Panen
· Umur panen tergantung varietas, namun dapat menggunakan dasar : untuk konsumsi : 65-70 hari setelah tanam (di dataran rendah)
75-80 hari setelah tanam (di dataran tinggi _
Daun rebah dan menguning 80 %
Umbi tersembul ke permukaan tanah dan berwarna cerah
untuk umbi benih : 75-80 hari setelah tanam (di dataran rendah)
85-90 hari setelah tanam (di dataran tinggi)
Daun rebah dan menguning 90 %
Umbi tersembul ke permukaan tanah dan berwarna cerah
· Waktu panen udara cerah dan tidak basah
· Cara panen dengan mencabut keseluruhan tanaman secara hati-hati
Pelayuan dan Pengeringan
· Pelayuan atau curing sebelum bawang merah dikeringkan dengan menjemur 2-3 hari di bawah terik sinar matahari dan posisi umbi tertutupi daun (dilakukan di lahan)
· Alas menggunakan widig/anyaman bamboo atau daun jati dan penutup lembaran plastik jika terjadi hujan
· Pengeringan dilakukan 7-14 hari atau sampai kering askip, jika bawang merah akan disimpan sambil menunggu harga pasar
· Hasil panen diikat 1-1,5 kg setiap ikatan dan digabung 2 ikatan untuk disimpan di atas para-para
· Untuk
mengetahui kesiapan umbi kering askip yaitu menyimpan sedikit contoh
dalam kantong plastik putih selama 24 jam, bila sudah tidak ada titik
air dalam kantong, berarti sudah mencapai kering askip
· Penyimpanan bawang merah dapat dilakukan di atas perapian , menggunakan para-para bambu dan di bawahnya diberi pengasapan
· Penyimpanan
di ruang berventilasi sangat baik karena mempunyai sirkulasi udara yang
baik dan dapat mencegah serangan hama dan penyakit seperti rumah sere
· Sortasi dilakukan untuk memisahkan umbi yang sehat , utuh dan menarik dengan umbi yang telah rusak. Sortasi dapat meningkatkan nilai jual dan mencegah penularan penyakit
· Grading dilakukan untuk menentukan tingkat mutu produk, sehingga harga dapat ditentukan sesuai mutunya. Grading dilakukan dalam beberapa kelas yaitu kelas I diameter > 2,5 cm, kelas II =1,5-2,5 cm , kelas III < 1,5 cm.
PENGEMASAN DAN DISTRIBUSI
Bawang
merah yang telah dikeringkan dan siap untuk dipasarkan dapat dikemas
menggunakan karung jala dengan berat 80-100 kg (jika dikirim antar kota)
dan berat 25-50 kg (jika dikirim antar pulau). Beberapa sentra produksi juga mengemas dengan cara memasukkan karung jala ke dalam keranjang bambu sehingga bawang merah lebih aman sampai di konsumen.
Untuk distribusi bawang merah disesuaikan dengan kapasitas alat angkut dan tujuan pasar . Kemasan bawang merah diletakkan secara perlahan dalam kendaraan dan ditumpuk sesuai kapasitas alat angkut.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga, W., T.K. Moekasan, T.S. Uhan, E. Sunaryo dan Hendarsih. 2000. Present status of pest and disease management on food and vegetables crops and its future development. Lap PEI dan PT PCI.
Anonim. 2005. Penerapan pengendalian hama terpadu bawang merah di propinsi Jatim. Diperta Jatim. BPTPH Jatim.
Anonim. 2005. Pengendalian organisme pengganggu tanaman bawang merah dengan menggunakan jaring kelambu. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kehutanan dan Perkebunan Kab. Probolinggo. Jatim
Baswarsiati, L. Rosmahani dan F. Kasijadi. 1999. Rakitan Teknologi Usahatani Bawang Merah dalam Monograf Rakitan Teknologi. BPTP Karangploso.
Baswarsiati, L. Rosmahani dan E. Korlina. 2000. Review pengkajian sistem usahatani bawang merah di lahan sawah. Eds. Soetjipto P.H. dkk.
Prosid. Sem. Hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Mendukung
Ketahanan Pangan Berwawasan Agribisnis. Badan Litbang Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. 392 – 402.
__________,
L. Rosmahani, E. Korlina, E.P. Kusumainderawati, D. Rachmawati dan S.Z.
Saadah. 1997. Adaptasi beberapa varietas bawang merah di luar musim.Eds. M. Cholil M. dkk. Prosid. Sem. Hasil Penelitian dan Pengkajian Komoditas Unggulan. Deptan. Balitbangtan. BPTP Karangploso. 210-225.
__________,
L. Rosmahani, B. Nusantoro, R.D. Wijadi, M. Mashuri, Koespiatin, S.
Fatimah, Riswandi, S.Z. Sa’adah. 1998. Pengkajian paket teknik budidaya
dalam usahatani bawangmerah di luar musim. Eds. Supriyanto A . dkk.
Prosid. Sem. Hasil Penelitian dan Pengkajian Sisitem Usahatani Jawa
Timur. Balitbangtan. Puslit Sosek Petanian. BPTP Karangploso. 156-168.
Dirjen Hortikultura. 2005. Kinerja pembangunan sistem dan usaha agribisnis hortikultura 200-2003. Departemen Pertanian. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. Jakarta.
Rosmahani, L., E. Korlina, Baswarsiati dan F. Kasijadi. 1998. Pengkajian teknik pengendalian terpadu hama dan penyakit penting bawang merah tanam di luar musim. Eds. Supriyanto A.dkk.
Prosid. Sem.Hasil Penelitian dan Pengkajian Sisitem Usahatani Jawa
Timur. Balitbangtan. Puslit Sosek Petanian. BPTP Karangploso. 116-131
____________,
Soeyamto, E. Korlina, Baswarsiati. 2001. Identifikasi dan saran
pemecahan permasalahan hama ulat bawangmerah di Kab. Probolinggo. Lap.
Hasil survey BPTP Jatim. Belum dipublikasi. 6 hal.
Sumami, N dan R. Rosliani. 1995. Ekologi bawang merah. Dalam. Teknologi Produksi Bawang Merah. Eds. Soenaryono, H. dkk. Puslitbang Hortikultura, Badan Litbang Pertanian. Jakarta . 12 – 17.
Setiawati, W dan B.K. Udiarto. 2005. Pengenalan hama penting pada tanaman bawang merah dan pengendaliannya. Pelatihan TOT Bawang Merah. Balitsa Lembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar