Ini cerita perjuangan teman saya, mantan Assistant Vice President sebuah Bank BUMN, yang berusaha keluar dari jerat riba. Berikut penuturannya.
Ketika saya diminta bercerita tentang proses hijrah saya meninggalkan riba, hal pertama yang saya syukuri adalah bahwa saya masih diberi kesempatan untuk bisa menerima hidayah dan itu menjadi titik nadir bagi perubahan hidup saya.
Ya, tepatnya empat tahun yang lalu, pertengahan bulan November 2011, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan saya di sebuah bank BUMN. Setelah terlena, asik bekerja dan berkarir selama 16 tahun, hidayah itu datang melalui seorang supir kantor. Beliau pria asal Sumetera Utara, yang saat itu berusia 53 tahun, setiap perjalanan dinas, ngotot memutarkan siaran sebuah radio Islam untuk saya. Karena suku dan usianya, membuat saya malas menolak maunya. Setiap hari saya dijejali dengan kajian-kajian Islam yang menurut beberapa teman saya, kajian itu cukup keras. Tapi ternyata kajian itu tegas dan menarik buat saya. Sebetulnya sudah lama saya ragu atas pekerjaan saya di bank. Tapi saya selalu cari pembenaran, bahwa bekerja di bagian back office bukan pekerjaan riba. Namun, setelah saya tugaskan ke bagian investasi dan produk (front office), saya bisa melihat dan merasakan sendiri bagaimana bank berusaha meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tampak jelas di mata saya, bank tempat saya bekerja adalah sebuah mesin besar rentenir penuh dosa.
Kembali pada siaran radio yang dipaksakan sopir saya. Saya ingat sekali, dalam sebulan penuh – karena saat itu bulan ramadhan – saya dijejali kajian-kajian Islam. Sampai akhirnya pada sebuah siaran, saya mendengarkan ceramah seorang ustadz yang tegas dan berani menyampaikan hal-hal mengenai riba. Saya terkesan pada ulasannya dan akhirnya saya membeli beberapa buku karangan ustadz tersebut. Setelah banyak membaca buku dan mendengar kajian, akhirnya saya mendapat keberanian untuk memutuskan hijrah. Hijrah dari kehidupan ekonomi ribawi menuju ekonomi syariah yang berkah. Saya ingin resign dari pekerjaan saya.
Ini bukan perkara yang mudah. Saat resign, saya belum punya penghasilan maupun usaha cadangan untuk membackup kehidupan saya. Saat itu saya berdiskusi dengan istri, karena ini menyangkut hajat hidup kita bersama dan anak-anak, bagaimana baiknya. Apakah kita siap jika resign sekarang tanpa backup apa-apa, atau kita tunda beberapa tahun lagi setelah kita merasa siap atau punya cadangan penghasilan. Apa yang dikatakan istri saya ternyata diluar dugaan saya hingga kalimat itu selalu saya ingat sampai sekarang.
“Ya, resign aja. Mumpung masih ada nafas.” Terlihat sangat yakin istri saya mengucapkan kalimat itu.
Singkat dan tegas!, “Ya, mumpung masih ada nafas”. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan dipanggil menghadap-Nya. Kapan saja bisa terjadi, bisa setiap saat, bahkan bisa sekarang ini saat saya sedang menulis. Bisa juga beberapa detik, menit, jam atau hari ke depan. Kita tidak pernah tahu. Tapi yang sangat penting adalah apabila kita dipanggil saat tidak sedang bermaksiat.
“Tapi kalau resign sekarang, kita engga punya apa apa. Kita engga punya usaha, kita engga punya tabungan. Semua tabungan yang ada akan habis untuk bayar hutang pinjaman.”
Hampir mustahil orang yang bekerja di bank tidak punya pinjaman (hutang). Salah satu jerat bank bagi pegawainya adalah apa yang disebut pinjaman lunak. Bunga pinjaman lunak ini besarnya adalah maksimal setengah dari bunga deposito. Maka biasanya karyawan bank tidak perlu pikir panjang untuk segara menyairkan pinjaman kantor dan menempatkan ke deposito.
Bagaimana dia berjuang keluar dari jerat hutang riba? Mau tahu? atau mau tahu bingiitss? hehehehe…
Silahkan klik dan baca kelanjutan ceritanya di Bebas Hutang Cara TAIICHII
by Safak Muhammad
sumber : http://bebashutang.org/ini-kisah-perjuangan-keluar-dari-jerat-riba-yang-mengharukan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar