“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan
jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan
barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3). Al Qurtubi dalam Al Jami’ Liahkamil Qur’an mengatakan, “Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.”
Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka
sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49). Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah Rabb ‘Arsy yang agung.
Tawakal yang Sebenarnya
Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla
untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam
urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta
meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.”
Tawakal Bukan Hanya Pasrah
Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati
kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.
Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah
yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita
untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk
bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk
meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan
hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal [8]: 60). Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.
Sahl At Tusturi mengatakan, “Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah
(ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela tawakal
(tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia telah meninggalkan
keimanan. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)
Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang
Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya
kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung
tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore
harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam
hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada
waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)
Al Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam
keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun,
usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki
adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak
harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab
yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja
mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita
untuk mencari rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah)
Tawakal yang Termasuk Syirik
Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap
hamba tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang
dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta’ala semata.
Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati semata (Madarijus Salikin,
Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada
Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada
selain Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu
juga apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan hati kepada
selain Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga termasuk
kesyirikan.
Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik
yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal
(bersandar) pada makhluk pada suatu perkara yang tidak mampu untuk
melakukannya kecuali Allah ta’ala. Seperti bersandar pada
makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di
akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan
oleh para penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal semacam ini
dengan hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan
hajat mereka kecuali Allah ta’ala. Apa yang mereka lakukan
termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang
makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.
Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah
ditakdirkan (ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab
itu bukan hanya sekedar sebab (lebih dari sebab semata), seperti
seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan
hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.
Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu
hanyalah sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan
menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29)
Penutup
Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia
saja. Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak
bahaya dalam urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal
dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai.
Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh
dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id
mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk
mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam
mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.
sumber : http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/tawakal-yang-sebenarnya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar