Wahai saudaraku, kali ini kuajak dikau menyelami kisah seorang Khalifah pada zaman Rasul ALLAH, salah seorang Khalifah yang sangat kukagumi. Seorang bertubuh besar dan berifisik kuat, tapi berhati sangat lembut dan berakhlak sangat mulia. Seorang ikhwan bernama ‘Umar bin Khaththab.
Khalifah kedua ini dikenal sebagai pribadi yang tegas dan kuat. Beliau termasuk sahabat yang sangat dikasihi Nabi Muhammad. Sebelum memeluk Islam, beliau bagai lawan tanpa tanding. Musuh-musuhnya sering kali terpukul mundur sebelum sempat melawan jika mengetahui yang akan menghadapi mereka adalah ‘Umar bin Khaththab.
Saat jumlah umat Islam masih sedikit, Rasul ALLAH pernah berdoa agar Islam dikuatkan oleh salah satu dari kedua ‘Umar, yaitu ‘Umar bin Abdul Mutholib (Abu Jahal itu loh, hayo Abdul Mutholib itu siapa?) atau ‘Umar bin Khaththab. Ternyata ALLAH memberikan ‘Umar bin Khaththab sebagai karunia untuk umat Islam.
‘Umar masuk islam setelah mendengar lantunan surat Thoohaa (surat ke berapa dalam Alquran, hayooo?) yang dibacakan adik perempuannya, Fathimah. Yakni di tahun keenam sesudah Baginda Muhammad diangkat sebagai Nabi ALLAH (sekitar 6 Hijriyah). Beliau juga dikenal sebagai jenderalnya umat Islam. Beliau sangat keras dalam membela agama ALLAH (kita gimana yaa? >.<). ‘Umar adalah salah satu benteng Islam yang mampu menyurutkan perlawanan kaum Quraisy. Begitu pemberani dan tegasnya beliau hingga saat dakwah Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ‘Umar mengusulkan dakwah dilakukan secara terbuka.
Pada masa ‘Umar menjadi Khalifah, daerah kekuasaan Islam bertambah luas. Kerajaan Persia dan Romawi Timur dapat ditaklukan dalam kurun waktu satu tahun (636-637 M). Beliau dipanggil “Amirul Mukminin” (Pemimpin orang mukmin). Pemimpin yang sederhana dan peduli dengan rakyatnya ini, wafat setelah dibunuh Abu Lukluk saat hendak memimpin sholat (23 H/644 M). Makam beliau didekatan dengan makam Abu Bakar dan Rasul ALLAH.
Naah, yang mau ku-share adalah sebuah kisah di zaman kekhalifahan ‘Umar yang membuatku menangis membacanya. Walaupun bukan pertama kali kudengar kisah ini, membacanya lagi dalam kedewasaan dan kematangan (caelah, hehe), membuat airmataku jatuh perlahan menuruni pipiku (caelah lagi, hoho).
Suatu masa dalam kepemimpinan ‘Umar, terjadi “Tahun Abu”. Masyarakat Arab menderita masa paceklik berat. Hujan tak lagi turun, pepohonan mengering, hewan-hewan mati. Tanah tempat berpijak hampir menghitam layaknya abu (semoga ALLAH meringankan ujian kekeringan di beberapa belahan negeri kita, Aamiiin..).
Putus asa mendera di mana-mana. Saat itu ‘Umar sang Khalifah melakoni pribadi yang sebenar-benar pemimpin. Rakyatnya diurus dengan cermat dan saksama, sepenuh hati. Setiap hari beliau menginstruksikan aparatnya menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Tapi hatinya pedih, kecemasan kian menebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Ya ALLAH, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tangan ini.”
‘Umar khawatir makanan untuk rakyatnya kurang. Sang pemberani itu hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan beliau meminta pembantunya, mengurangi panas minyak dengan api. Minyak dimasak, namun perutnya makin panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, perutnya ditabuh seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”
Begitulah saudaraku, sedikit cuplikan kehidupan seorang ‘Umar bin Khaththab. Subhanalloh, sungguh mulia sang Amirul Mukminin, tak berpikir olehnya tuk menikmati jabatan dengan menumpuk harta atau bahan pangan untuk dirinya. Padahal dengan kuasanya bisa saja beliau bertingkah dictator. Hampir setiap malam ‘Umar bin Khaththab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, beliau keluar masuk kampung. Ini beliau lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. ‘Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum dipenuhi oleh staf pemerintahannya.
Malam itu, bersama Aslam, Khalifah ‘Umar mengarungi kampung terpencil yang berada di tengah gurun sepi. Tiba-tiba beliau terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar suara gadis kecil menangis keras. ‘Umar bin Khaththab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, untuk mengecek bila penghuninya membutuhkan bantuan.
Setelah dekat, ‘Umar melihat seorang perempuan tua tengah menanakkan panci di atas tungku. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus mengaduk-aduk isi panci dengan sendok kayu panjang.
“Assalaamu’alaykum,” ‘Umar memberi salam.
Mendengar salam ‘Umar, ibu itu mendongakkan kepalanya seraya menjawab salam ‘Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya ‘Umar.
Dengan sedikit tak acuh, ibu itu menjawab, “Anakku…”
“Apakah ia sakit?”
“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”
‘Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi panic di atas api.
‘Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu itu? Lama betul matangnya. Kebingungan, Khalifah ‘Umar bertanya, “Apa yang sedang kau masak, hai ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmm, kau lihatlah sendiri!”
‘Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Kaget bin kaget keduanya terbelalak melihat apa yang ada di dalam panci. ‘Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Si ibu mengangguk.
“Buat apa?”
Dengan suara lirih, ibu itu menjawab, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah ‘Umar bin Khaththab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Aku seorang janda. Sejak pagi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi ia kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah maghrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”
Setelah menjelaskan panjang lebar, ibu itu terdiam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh ‘Umar bin Khaththab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya!”
Mendengar penuturan si ibu, Aslam berniat menegur perempuan itu. Namun Khalifah ‘Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang beliau bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, ‘Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua nan sengsara itu.
Karena ‘Umar bin Khaththab terlihat keletihan, Aslam berujar, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu…”
Dengan wajah merah padam, ‘Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”
Aslam tertunduk. Tersuruk-suruk Khalifah ‘Umar berjuang memikul karung gandum itu. Angin berhembus. Membelai tanah Arab yang dilanda paceklik.
Subhanalloh, bila kita baca cerita ini dengan hati yang sejuk, maka sungguh mata ini berkaca-kaca, saudaraku. Lihatlah pemimpin negeri ini, sibuk korupsi, sibuk rebutan kursi, sibuk ngoleksi istri, sibuk cari uang sana sini. Na’udzubillah.. Sungguh, kepemimpinan seperti Khalifah ‘Umar inilah yang patutnya kita jadikan pelajaran (selain Rasul ALLAH tentunya). Belum lagi keberanian beliau menentang siapa saja yang menjelekkan Islam. Sedangkan kita saudaraku, malah sibuk menjaga nama baik, sibuk maksiat, sibuk menambah harta tanpa peduli halal haramnya. Tapi tak pernah sekalipun kita berpikir untuk mengangkat kemuliaan kita di hadapan ALLAH. Kapankah terakhir diri ini membaca Alquran dengan tartil dan menyejukkan, kapankah terakhir diri ini bersujud di atas sajadah malah, kapankah terakhir diri ini mengisi tangan-tangan yang menengadah di jalanan.
Dan..
Ntah seberapa cepat kita mati hingga seujung kukupun tak ada lagi yang bisa kita perjuangkan.
Setiap dari kita kiranya ingin masuk surga. Namun, tidaklah mudah untuk meraihnya, harus ada yang kita “bayar”. Tidak cukup hanya mengaku sebagai muslim, butuh ketaatan dan pengorbanan. Lihatlah bagaimana sikap itu diajarkan oleh salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shalollahu ‘Alaihi Wa Sallam, ‘Umar bin Khaththab Radhiallohu Anhu.
Memang kita bukan manusia yang sempurna layaknya Rasul ALLAH. Tapi kita adalah hamba ALLAH, sama seperti beliau, ada harga yang harus kita raih untuk memasuki jannah ALLAH. Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang merugi, Aamiin..
“ALLAH telah menjanjikan kepada orang yang beriman dan beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Maidah : 9)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang solat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari solatnya, (ibadah) orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al Maun : 4-7)
Semoga bermanfaat. d^^b
–Nofriani–
nice posting bro
BalasHapussaya juga sangat menggemari Rosululloh dan Umar
saya izin share postingmu di blog saya ya
kunjungi jika ada waktu
www.rezamuslim.blogspot.com
Subhannalloh....hati ini bergetar dan mata ini menangis mengingat dosa saya....Yaa Alloh tunjukanlah jalan yang lurus kepada hamba Mu ini. Aamiinn
BalasHapus