Kisah Penuh Hikmah Ketika Umar bin Khattab Sebagai Khalifah


Ini adalah sebuah penggalan isi buku Al Bidayah wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin, yang akan menukilkan beberapa kisah, perkataan dan tindak-tanduk Umar bin Khaththab sebagai seorang khalifah atau Amirul Mukminin (pemimpin umat Islam) ketika itu yang penuh hikmah. Tulisan ini sangat menggugah perasan yang membaca, tentang bagaimana seorang pemimpin yang sangat takut pada Allah, hidup sangat bersahaja, berhati lembut terhadap umatnya, dan memegang teguh amanah kepemimpinannya dengan sangat luar biasa. Semoga bermanfaat.
Umar pernah berkata,

“Tidak halal bagiku harta yang diberikan Allah kecuali dua pakaian. Satu untuk dikenakan di musim dingin dan satu lagi digunakan untuk musim panas. Adapun makanan untuk keluargaku sama saja dengan makanan orang-orang Quraisy pada umumnya, bukan standar yang paling kaya di antara mereka. Aku sendiri hanyalah salah seorang dari kaum muslimin.”
Jika menugaskan para gubernurnya, Umar akan menulis perjanjian yang disaksikan oleh kaum Muhajirin. Umar mensyaratkan kepada mereka agar tidak menaiki kereta kuda, tidak memakan makanan yang enak-enak, tidak berpakaian yang halus, dan tidak menutup pintu rumahnya kepada rakyat yang membutuhkan bantuan. Jika mereka melanggar pesan ini maka akan mendapatkan hukuman.
Jika seseorang berbicara kepadanya menyampaikan berita, dan ia berbohong dalam sepatah atau dua patah kalimat, maka Umar akan segera menegurnya dan berkata, “Tutup mulutmu, tutup mulutmu!” Maka lelaki yang berbicara kepadanya berkata, “Demi Allah sesungguhnya berita yang aku sampaikan kepadamu adalah benar kecuali apa yang engkau perintahkan aku untuk menutup mulut.”
Muawiyah bin Abi Sufyan berkata,”Adapun Abu Bakar, ia tidak sedikitpun menginginkan dunia dan dunia juga tidak datang menghampirinya. Sedangkan Umar, dunia datang menghampirinya namun dia tidak menginginkannya, adapun kita bergelimang dalam kenikmatan dunia.”
Pernah Umar dicela dan dikatakan kepadanya, “Alangkah baik jika engkau memakan makanan yang bergizi tentu akan membantu dirimu supaya lebih kuat membela kebenaran.” Maka Umar berkata, “Sesungguhnya aku telah ditinggalkan kedua sahabatku (yakni Rasulullah dan Abu Bakar) dalam keadaan tegar (tidak terpengaruh dengan dunia), maka jika aku tidak mengikuti ketegaran mereka, aku takut tidak akan dapat mengejar kedudukan mereka.”
Beliau selalu memakai jubah yang terbuat dari kulit yang banyak tambalannya, sementara beliau adalah khalifah, berjalan mengelilingi pasar sambil membawa tongkat di atas pundaknya untuk memukul orang-orang yang melanggar peraturan. Jika beliau melewati biji ataupun lainnya yang bermanfaat, maka beliau akan mengambilnya dan melemparkannya ke halaman rumah orang.
Anas berkata, “Antara dua bahu dari baju Umar, terdapat empat tambalan, dan kainnya ditambal dengan kulit. Pernah beliau khutbah di atas mimbar mengenakan kain yang memiliki 12 tambalan. Ketika melaksanakan ibadah haji beliau hanya menggunakan 16 dinar, sementara beliau berkata pada anaknya, “Kita terlalu boros dan berlebihan.”
Beliau tidak pernah bernaung di bawah sesuatu, tetapi beliau akan meletakkan kainnya di atas pohon kemudian bernaung di bawahnya. Beliau tidak memiliki kemah ataupun tenda.
Ketika memasuki negeri Syam saat penaklukan Baitul Maqdis beliau mengendarai seekor unta yang telah tua. Kepala beliau yang botak bersinar terkena matahari. Waktu itu beliau tidak mengenakan topi ataupun surban. Kaki beliau menjulur ke bawah kendaraan tanpa pelana. Beliau membawa satu kantong yang terbuat dari kulit yang digunakan sebagai alas untuk tidur jika beliau berhenti turun.
Ketika singgah di Baitul Maqdis beliau segera memanggil pemimpin wilayah itu dan berkata, “Panggil kemari pimpinan wilayah ini.” Orang-orang segera memanggilnya, ketika hadir Umar berkata padanya, “Tolong cucikan bajuku ini sekaligus jahitkan dan pinjami aku baju.” Maka dibawakan kepada beliau baju yang terbuat dari katun. Beliau bertanya, “Apa ini?” Dikatakan kepadanya bahwa baju ini terbuat dari katun. Beliau bertanya kepada mereka, “Apa itu katun? “ Mereka memberitahukan kepadanya apa itu katun. Umar segera melepas bajunya lalu mencuci kemudian menjahitnya sendiri.
Diriwayatkan dari Anas ia berkata, “Aku pernah bersama Umar, kemudian beliau masuk ke kebun untuk buang hajat, sementara jarak antara diriku dan dirinya hanyalah pagar kebun, aku dengar ia berkata pada dirinya sendiri, “Hai Umar bin al-Khaththab, engkau adalah Amirul Mukminin, ya…engkau adalah Amirul mukminin! Demi Allah takutlah engkau kepada Allah hai Ibn al-Khaththab, jika tidak Allah pasti akan mengazabmu.”
Disebutkan bahwasanya Umar pernah membawa tempat air di atas pundaknya. Sebagian orang mengkritiknya, namun beliau berkata, “Aku terlalu kagum terhadap diriku sendiri oleh karena itu aku ingin menghinakannya.” Pernah beliau melaksanakan shalat Isya’ bersama kaum muslimin, setelah itu beliau segera masuk ke rumah dan masih terus mengerjakan shalat hingga fajar tiba.
Pada tahun paceklik dan kelaparan, beliau tidak pernah makan kecuali roti dan minyak hingga kulit beliau berubah menjadi hitam, beliau berkata, “Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.”
Pada wajah beliau terdapat dua garis hitam disebabkan banyak menangis. Terkadang beliau mendengar ayat Allah dan jatuh pingsan karena perasaan takut, hingga terpaksa dibopong ke rumah dalam keadaan pingsan. Kemudian kaum muslimin menjenguk beliau beberapa hari, padahal beliau tidak memiliki penyakit yang membuat beliau pingsan kecuali perasaan takutnya.
Thalhah bin Ubaidillah berkata, “Suatu ketika Umar keluar dalam kegelapan malam dan masuk ke salah satu rumah, maka pada pagi hari aku mencari rumah tersebut dan aku datangi, ternyata dalam rumah itu terdapat seorang perempuan tua yang buta sedang duduk. Aku tanyakan kepadanya, “Mengapa lelaki ini (Umar) datang ke rumahmu?” Wanita itu menjawab, “Ia selalu mengunjungiku setiap beberapa hari sekali untuk membantuku membersihkan dan mengurus segala keperluanku.” Aku berkata kepada diriku, “Celakalah dirimu wahai Thalhah, kenapa engkau memata-matai Umar?”
Aslam Maula Umar, pengawal Umar, berkata, “Pernah datang ke Madinah satu rombongan saudagar, mereka segera turun di mushalla, maka Umar berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Bagaimana jika malam ini kita menjaga mereka?” Abdurrahman berkata, “Ya, aku setuju!” Maka keduanya menjaga para saudagar tersebut sepanjang malam sambil shalat. Namun tiba-tiba Umar mendengar suara anak kecil menangis, segera Umar menuju tempat anak itu dan bertanya kepada ibunya, “Takutlah engkau kepada Allah dan berbuat baiklah dalam merawat anakmu.” Kemudian Umar kembali ke tempatnya. Kemudian ia mendengar lagi suara bayi itu dan ia mendatangi tempat itu kembali dan bertanya kepada ibunya seperti pertanyaan beliau tadi.
Setelah itu Umar kembali ke tempatnya semula. Di akhir malam dia mendengar bayi tersebut menangis lagi. Umar segera mendatangi bayi itu dan berkata kepada ibunya, “Celakalah engkau, sesungguhnya engkau adalah ibu yang buruk, kenapa aku mendengar anakmu menangis sepanjang malam?” Wanita yang tidak mengenali Umar itu menjawab, “Hai tuan, sesungguhnya aku berusaha menyapihnya dan memalingkan perhatiannya untuk menyusu tetapi dia masih tetap ingin menyusu. Umar bertanya, “Kenapa engkau akan menyapihnya?” Wanita itu menjawab, “Karena Umar hanya memberikan jatah makan terhadap anak-anak yang telah disapih saja.” Umar bertanya kepadanya, “Berapa usia anakmu?” Dia menjawab baru beberapa bulan saja.” Maka Umar berkata, “Celakalah engkau kenapa terlalu cepat engkau menyapihnya?” Maka ketika shalat subuh bacaan Umar nyaris tidak terdengar jelas oleh para makmum disebabkan tangisnya.
Beliau lalu berkata, “Celakalah engkau hai Umar berapa banyak anak-anak bayi kaum muslimin yang telah engkau bunuh.” Setelah itu ia menyuruh salah seorang pegawainya untuk mengumumkan kepada seluruh orang, “Janganlah kalian terlalu cepat menyapih anak-anak kalian, sebab kami akan memberikan jatah bagi setiap anak yang lahir dalam Islam.” Umar segera menyebarkan berita ini ke seluruh daerah kekuasaannya.
Aslam berkata, “Pernah suatu malam aku keluar bersama Umar ke luar kota Madinah. Kami melihat ada sebuah tenda dari kulit, dan segera kami datangi, ternyata di dalamnya ada seorang wanita sedang menangis. Umar bertanya tentang keadaannya, dan dia menjawab, “Aku adalah seorang wanita Arab yang akan bersalin (melahirkan) sedangkan aku tidak memiliki apapun.” Umar menangis dan segera berlari menuju rumah Ummu Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib, istrinya, dan berkata, “Apakah engkau mau mendapatkan pahala yang akan Allah karuniakan kepadamu?” Segera Umar memberitakan padanya mengenai wanita yang dilihatnya tadi, maka istrinya berkata, “Ya, aku akan membantunya.” Umar segera membawa satu karung gandum beserta daging di atas bahunya, sementara Ummu Kaltsum membawa peralatan yang dibutuhkan untuk bersalin, keduanya berjalan mendatangi wanita tersebut. Sesampainya di sana Ummu Kaltsum segera masuk ke tempat wanita itu, sementara Umar duduk bersama suaminya, yang tidak mengenal Umar, sambil berbincang-bincang.
Akhirnya wanita itu berhasil melahirkan seorang bayi. Ummu Kaltsum berkata kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin sampaikan berita gembira kepada suaminya bahwa anaknya yang baru lahir adalah lelaki.” Ketika lelaki itu mendengar perkataan Amirul Mukminin ia merasa sangat kaget dan minta maaf kepada Umar. Namun Umar berkata kepadanya, “Tidak mengapa.” Setelah itu Umar memberikan kepada mereka nafkah dan apa yang mereka butuhkan lantas beliaupun pulang.
Aslam berkata, “Suatu malam aku keluar bersama Umar bin al-Khaththab ke dusun Waqim. Ketika kami sampai di Shirar, kami melihat ada api yang dinyalakan. Umar berkata, “Wahai Aslam di sana ada musafir yang kemalaman, mari kita berangkat menuju mereka.” Kami segera mendatangi mereka dan ternyata di sana ada seorang wanita bersama anak-anaknya sedang menunggu periuk yang diletakkan ke atas api, sementara anak-anaknya sedang menangis. Umar bertanya, “Assalamu alaiki wahai pemilik api.” Wanita itu menjawab, “Wa alaika as-Salam,” Umar berkata, “Kami boleh mendekat?” Dia menjawab, “Silahkan!” Umar segera mendekat dan bertanya, “Ada apa gerangan dengan kalian?” Wanita itu yang juga tak mengenali Umar menjawab, “Kami kemalaman dalam perjalanan serta kedinginan.” Umar kembali bertanya, “Kenapa anak-anak itu menangis?” Wanita itu menjawab, “Karena lapar.” Umar kembali bertanya, “Apa yang engkau masak di atas api itu?” Dia menjawab, “Air agar aku dapat menenangkan mereka hingga tertidur. Dan Allah kelak yang akan jadi hakim antara kami dengan Umar.”
Maka Umar menangis dan segera berlari pulang menuju gudang tempat penyimpanan gandum. Ia segera mengeluarkan sekarung gandum dan satu ember daging, sambil berkata, “Wahai Aslam naikkan karung ini ke atas pundakku.” Aslam berkata, “Biar aku saja yang membawanya untukmu.” Umar menjawab apakah engkau mau memikul dosaku kelak di hari kiamat?” Maka beliau segera memikul karung tersebut di atas pundaknya hingga mendatangi tempat wanita itu. Setelah meletakkan karung tersebut beliau segera mengeluarkan gandum dari dalamnya dan memasukkannya ke dalam periuk. Setelah itu ia memasukkan daging ke dalamnya. Umar berusaha meniup api di bawah periuk hingga asap menyebar di antara jenggotnya untuk beberapa saat. Setelah itu Umar menurunkan periuk dari atas api dan berkata, “Berikan aku piring kalian!” Setelah piring diletakkan segera Umar menuangkan isi periuk ke dalam piring itu dan menghidangkannya kepada anak-anak wanita itu dan berkata, “Makanlah!” Maka anak-anak itu makan hingga kenyang, wanita itu berdoa untuk Umar agar diberi ganjaran pahala sementara dia sendiri tidak mengenal Umar.
Umar masih bersama mereka hingga anak-anak itu tertidur pulas. Setelah itu Umar memberikan kepada mereka nafkah lantas pulang. Umar berkata kepadaku, “Wahai Aslam sesungguhnya rasa laparlah yang membuat mereka begadang dan tidak dapat tidur.”
Semoga sepenggal kisah yang penuh hikmah kehidupan Umar bin Khattab sewaktu menjadi khalifah ini bermanfaat.
sumber   http://horizonwatcher.blogdetik.com/2011/06/10/kisah-penuh-hikmah-ketika-umar-bin-khattab-sebagai-khalifah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar