3. Kedudukannya dalam ilmu.
Para ahli yang menulis biografi Umar bin Abdul Aziz sepakat bahwa beliau termasuk salah satu Imam (panutan dalam ilmu pengetahuan) di zamannya, sebagaimana ditegaskan Malik dan Sufyan bin Uyainah[1]. Di samping itu beliau juga digelari al-'Allamah (yang luas ilmunya), al-Mujtahid (ahli Ijtihad[2]) dan al-Hafidz (panutan dalam ilmu hadits)[3].
Suatu hari di umurnya yang masih 'seumur jagung' beliau pernah mengunjungi Abdullah bin Umar bin Khattab. Sepulangnya dari kunjungan tersebut beliau pun berkata kepada ibunya, "Ibu! Aku ingin sekali menjadi seperti kakek Abdullah bin Umar", hal itu beliau katakan berulang-ulang.[4]
Mujahid pernah bercerita: "Dulu kami pernah mendatangi Umar bin Abdul Aziz karena ingin mengajarinya beberapa hal, namun justru kamilah yang diajarinya"[5]. Maemun bin Mihran juga pernah berkomentar: "Di hadapan Umar bin Abdul Aziz, para ulama hanyalah bagaikan murid"[6]. Sedangkan Adz-Dzahabi mengkategorikan beliau dari aspek keadilan seperti Umar bin Khattab, dari aspek kezuhudan seperti Hasan Bashri dan dari aspek keilmuan seperti Zuhri[7].
Bahkan para ulama lain pun tidak segan-segan berhujjah dengan perkataan dan perbuatan beliau. Di antaranya: Laits bin Said ketika menulis surat untuk Malik bin Anas menyebutkan nama beliau berkali-kali untuk menguatkan pendapatnya sendiri dalam beberapa persoalan.[8]
Lebih dari itu, Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad sering menyebut nama beliau dalam beberapa kitab mereka[9]. Cukuplah sebagai saksi statemen Ahmad berikut ini: "Aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan Tabiin yang perkataannya dijadikan Hujjah selain Umar bin Abdul Aziz. Dan ini cukup (sebagai saksi akan keilmuan beliau)"[10]. Beliau melanjutkan: "Jika engkau mendapati seseorang yang mencintai Umar bin Abdul Aziz, lalu menyebut-nyebut kebaikan dan menyebarkannya. Ketahuilah di balik itu semua ada kebaikan (yang menunggu) Insya Allah"[11].
Di antara para ulama yang pernah menjadi guru beliau adalah Shalih bin Kaisan dan Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud. Beliau sangat terinspirasi oleh keluhuran budi pekerti keduanya.[12]
Juga Said bin Musayyib, Salim bin Abdullah bin Umar dan masih banyak lagi yang lainnya. Kesemuanya berjumlah 33 orang; 8 orang dari kalangan Shahabat dan 25 dari Tabiin.[13]
4. Umar bin Abdul Aziz sebagai pejabat.
a. Gubernur Madinah.
Suatu hari, di salah satu bilangan bulan Rabiul Awal, di tahun yang menginjakkan kakinya di angka ke 87 H, khalifahWalid bin Abdul Malik mengeluarkan keputusan resmi; pengangkatan gubernur baru. Sang gubernur terpilih akan diberi kewenangan untuk mengepalai Madinah dan Thaif (Hijaz). Dan pilihan itu jatuh di pundak Umar bin Abdul Aziz. Begitu mengetahui dirinya terpilih, Umar bin Abdul Aziz tidak langsung menerima mandat tersebut, melainkan mengajukan tiga persyaratan, jika ditolak ia memilih mengundurkan diri dan jika dikabulkan ia segera bertolak berangkat menuju Madinah. Ketiga syarat itu ialah: Pertama: Ia diberi kebebasan untuk menegakkan kebenaran dan memutuskan perkara dengan asas keadilan di wilayah kekuasaan barunya, serta diberi kelonggaran untuk tidak memaksa seorang pun agar membayar pajak ke Baitul Mal, bagi mereka yang memang mempunyai kewajiban untuk membayar. Tentunya hal ini berimbas pada sedikitnya pajak yang akan disetorkan ke pusat pemerintahan. Kedua: Diizinkan untuk menunaikan ibadah Haji di tahun pertama kerjanya, kebetulan Umar bin Abdul Aziz saat itu belum menunaikan rukun Islam kelima. Ketiga: Diberi keluasan untuk berderma kepada penduduk Madinah tanpa terkecuali.
Begitu syarat ini diterima, serta merta Umar bin Abdul Aziz pun bertolak ke Madinah. Sedangkan di Madinah sendiri luapan kegembiraan penduduknya -yang mengetahui bahwa gubernur baru mereka adalah Umar bin Abdul Aziz- sedang menunggu menyambutnya.[14]
Sesampainya di Madinah, hal yang pertama kali dilakukannya adalah membentuk Majlis Syura yang beranggotakan sepuluh ulama Madinah; Urwah bin Zubair, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, Abu Bakar bin Sulaiman bin Abu Khaitsamah, Sulaiman bin Yasar, Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dan Kharijah bin Zaid bin Tsabit. Lalu Umar bin Abdul Aziz pun berbicara di hadapan mereka, “Aku memanggil kalian semua untuk sebuah kepentingan yang kalian akan diberi balasan karenanya dan mengajak kalian untuk berjibaku serta bahu membahu menegakkan kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan satu perkara pun melainkan berdasarkan pendapat kalian atau salah satu dari kalian. Jika kalian mendapati seseorang berbuat aniaya atau menjumpai salah satu pegawaiku berbuat zalim, beritahukanlkah padaku”.[15]
Di bawah pemerintahannya, Madinah berubah menjadi makmur dan sentosa. Salah satu prestasi kerjanya adalah perluasan Masjid Nabawi dengan panjang dan lebar: 200 X 200 hasta[16], kemudian menghiasinya -meskipun sebenarnya Umar bin Abdul Aziz sendiri tidak menyukai hal tersebut- berdasarkan perintah langsung dari khalifah Walid bin Abdul Malik[17].
Dan ketika tahun pun menginjakkan kakinya di angka 92 H, Umar bin Abdul Aziz mengundurkan diri dari hiruk pikuk gubernuran disebabkan penyesalannya yang begitu mendalam telah memberi hukuman yang berujung kematian pada Khubaib bin Abdullah bin Zubair. Dan hal itu selalu terngiang-ngiang di benaknya hingga ajal menjemputnya.[18]
Sedangkan Ibnu Jarir dan yang lainnya menyebutkan, sebenarnya Umar bin Abdul Aziz dibebastugaskan dari jabatan gubernurnya, karena ‘perang urat syaraf’ yang terjadi antara beliau dan Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, si penguasa lalim. Dankhalifah Walid bin Abdul Malik sendiri lebih condong untuk menempuh jalan politik pemerintahan ala si Hajjaj.[19]
Dikisahkan ketika Umar bin Abdul Aziz keluar meninggalkan Madinah, beliau menangis tersedu. Sesaat kemudian menoleh ke belakang, ke arah Madinah, seraya berkata kepada pembantunya, “Hai Muzahim! Aku khawatir terhadap diriku sendiri. Jangan-jangan aku termasuk orang yang difilter Madinah”[20], sambil mengisyaratkan pada sebuah hadits,“Ketahuilah! Madinah itu seperti pandai besi yang sedang membersihkan karat. Dan Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai Madinah ini memfilter penduduknya yang jelek, sebagaimana pandai besi membersihkan karat (yang menempel di besi)”[21].
b. Khalifah.
Syahdan, ketika khalifah Sulaiman bin Abdul Malik sakit parah, ia dihinggapi kebingungan yang luar biasa. Siapakah yang pantas dicalonkan menjadi penggantinya kelak? Itulah pertanyaan yang senantiasa berputar-putar di kepalanya. Ia mulai mengingat nama anaknya satu persatu. Apakah si Ayyub, anaknya yang masih kecil dan belum baligh? Atukah Daud, yang sedang memimpin pasukan perang nun jauh di Konstantinopel sana? Sedangkan ia sendiri tidak tahu nasib si Daud, masih hidup atau sudah mati? Atau si Yazid, yang sedang bepergian entah ke mana aral melintangnya? Bingung….! Ia terus memeras otaknya. Dan akhirnya kebingungan itu terhenti pada sebuah nama yang bukan berasal dari darah dagingnya, namun begitu dekat di hatinya. Nama yang tidak asing lagi di telinganya, nama yang ia kagumi dan takjubi sejak pertama kali mengenalnya, nama yang keutamaannya diakui siapa pun yang mengenalinya. Ya! Ia adalah Umar bin Abdul Aziz.
Tiba-tiba rasa khawatir menyusup ke dalam relung hatinya yang paling dalam. Apakah Bani Abdul Malik kelak akan menerimanya sebagai khalifah? Sedangkan Umar sendiri bukanlah keturunan Abdul Malik. “Fitnah pasti akan pecah sepeninggalku nanti”, gumamnya. Beberapa saat kemudian ia mendapat sebuah ide cemerlang agar terhindar dari fitnah yang mengancam. Ia akan mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai calon penggantinya sekaligus Yazid sebagai pengganti setelah Umar. Dan ide itu pun dibubuhkan dalam selembar surat wasiat.[22]
Akhirnya Umar bin Abdul Aziz pun didaulat sebagai khalifah baru menggantikan sang mendiang yang telah berpulang ke Rahmatullah. Itulah hari yang bersejarah, hari yang takkan pernah dilupakan si Umar, hari yang menandai perjuangan barunya akan segera dimulai. Hari itu, Jum’at sepuluh terakhir bulan Safar tahun 99 H[23].
“Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”, terucap dari bibir Umar bin Abdul Aziz, begitu mengetahui dirinyalah pangganti sang almarhum. Dengan berat hati amanat besar itu pun dipikulnya. Lalu ia segera naik ke atas mimbar, mendendangkan kata pembuka di awal perjalanan beratnya sebagai khalifah. Di antara kalimat yang terucap, “Amma ba’du. Ketahuilah! Tidak ada lagi nabi yang diutus setelah Nabi kalian (Muhammad r). Tidak ada lagi kitab yang diturunkan setelah kitab kalian (Al Qur’an). Ketahuilah! Apa yang dihalalkan Allah selamanya akan tetap halal hingga hari Kiamat. Aku bukanlah seorang hakim yang memutuskan perkara kalian, melainkan hanyalah seorang pelaksana apa yang telah diputuskan. Ketahuilah! Aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, melainkan seorang laki-laki seperti kalian, hanya saja Allah menjadikanku orang yang paling berat beban dan tanggung jawabnya di antara kalian”. Dan khutbah itu ia tutup dengan kalimat yang sangat terkenal, padat tapi sarat makna, “Hai manusia! Barang siapa mentaati Allah ia wajib ditaati dan barang siapa bermaksiat kepada Allah, ia tidak berhak ditaati. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan manakala aku bermaksiat kepada Allah, aku tidak berhak ditaati. Jika orang-orang disekitar kalian -baik yang berada di pelosok desa maupun kota- mentaatiku sebagaimana kalian, maka akulah pemimpin kalian. Namun sebaliknya, jika mereka tidak mentaatiku, aku bukanlah pemimpin kalian”. Setelah itu beliau turun dari mimbar.[24]
Di bawah kepemimpinannya, negara Islam berubah menjadi negara yang aman, damai dan sejahtera. Semua gubernur dan kepala daerah yang bertindak sewenang-wenang ia pecat, lalu diganti dengan yang lebih baik, yang lebih peka terhadap masyarakat. Segala hak yang berada di tangan yang tidak sah -sekecil apa pun- ia kembalikan kepada pemiliknya semula, tidak terkecuali; keturunan bangsawan ataukah hanya sekedar abangan, muslim atau pun Dzimmi. Semuanya sama! Bahkan kegigihan Umar bin Abdul Aziz menumpas kezaliman juga dirasakan Bani Abdul Malik. Dan hal itu ia mulai dari diri sendiri dan keluarganya. Ia periksa satu persatu harta benda yang ada di rumahnya, mana yang berasal dari pemberian khalifah sebelumnya ia kembalikan ke Baitul Mal[25], sehingga tidak ada celah bagi orang yang menentangnya untuk mencari-cari alasan.
Di dalam memimpin negara, Umar bin Abdul Aziz sangat menjunjung tinggi asas keadilan, tidak ada yang lebih penting dari itu. Disamping itu beliau juga berusaha menunaikan kewajibannya sebagai kepala negara dengan sebaik-baiknya dan menunaikan hak rakyat sebagai mana mestinya. Beliau berusaha agar tidak seorang pun -yang hidup di bawah pemerintahannya- merasa haknya terzalimi, bahkan binatang pun tak luput dari perhatian beliau.[26]
Sebegitu besar sifat amanah yang dimilikinya sampai-sampai ketika ada seseorang yang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Kenapa engkau tampak bersedih?”. Beliau menjawab, “Siapa pun yang berada di posisiku sekarang ini pasti akan bersedih”. “Tidak seorang pun dari rakyatku kecuali aku ingin menunaikan haknya sebagaimana mestinya, meskipun ia tidak memintanya”, lanjutnya[27]. Lalu mengutarakan alasan kenapa ia bersedih, “Aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, tapi justru akulah yang paling berat beban dan tanggung jawabnya”[28].
Sungguh! Keadilan, amanah dan tanggung jawabnya menjadikan rakyatnya hidup dalam kedamaian, aman, makmur dan sentosa. Hal itu terbukti dengan sedikitnya para penerima zakat di era pemerintahannya. Pernah seseorang mengeluarkan zakat dengan jumlah yang sangat besar, namun ketika ia mencari orang-orang yang berhak menerimanya, ia kembali dengan zakat masih utuh seperti semula[29].
Sungguh! Kepemimpinan yang dicontohkannya menjadi saksi sejarah akan agungnya ajaran Islam ini. Ilmu pemerintahan yang diterapkannya menjadi bukti paling konkrit dan tak terbantahkan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang bisa memecahkan problematika umat manusia -di mana pun berada- dalam mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Demikianlah sekilas pandang tentang kisah sang teladan, Umar bin Abdul Aziz. Mudah-mudahan di era yang akan datang bermunculan umar-umar baru yang siap mengharumkan nama Islam untuk kesekian kalinya. Amien….
Wa shallaallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallama ajma’in.
Kota nabi r, 19 Mei 2009
Ridho Abdillah
Daftar Pustaka:
1. Al Qur’an dan terjemahnya, Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd, 1418 H.
2. Sahih Bukhari, karya Muhammad bin Ismail, Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet. Pertama, 1429 H/2008 M.
3. Sahih Muslim, karya Muslim bin Hajjaj, Beirut: Dar al-Qurtubah, cet. Kedua, 1430 H/2009 M.
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir, tahqiq: Dr. Abdul Muhsin at-Turki, Jezah: Dar Hijr, cet. Pertama, 1418 H/1998 M.
5. Al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz, karya Dr. Ali Muhamad Shalabi, Beirut: Dar Ibnu Katsir, cet. Khusus, 1428 H/2007 M.
6. Shofahatun Musyriqah Min at-Tarikh al-Islami, karya Dr. Ali Muhammad Shalabi, Kairo: Muassasah Iqra', cet. Pertama, 1428 H/2007 M.
7. Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu al-Jauzi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. Pertama, 1404 H/1984 M.
8. Siyar A’lam an-Nubala’, karya Adz-Dzahabi, tahqiq: Syu'aib Arnauth, Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet. Kedua, 1402 H/1982 M.
9. Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. Pertama, 1425 H/2004 M.
10. Tarikh Khulafa' Bani Umayah, karya Dr. Nabih Aqil, Beirut: Dar al-Fikr, cet. Ketiga, 1393 H/1975 M.
[1] Al-Atsar al-Waridah An Umar bin Abdul Aziz (1/67). Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 21.
[2] Ijtihad adalah upaya untuk menyimpulkan suatu hukum tanpa terikat oleh statemen ulama manapun berdasarkan syarat-syaratnya.
[3] Lihat: Siyar A'lam an-Nubala' (5/114).
[4] Al-Atsar al-Waridah An Umar bin Abdul Aziz fi al-Aqidah (1/56). Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 16.
[5] Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar (7/419).
[6] Ibid. Lihat juga: Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/682) dan Siyar A'lam an-Nubala' (5/120).
[7] Lihat: Tadzkiratul Huffadz hal. 118, dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 21.
[8] Al-Atsar al-Waridah An Umar bin Abdul Aziz (1/70). Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir hal. 22.
[9] Selengkapnya silahkan baca: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 22.
[10] Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/677).
[11] Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 74.
[12] Lihat: Tahdzib at-Tahdzib (7/22), dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 20.
[13] Musnad Umar bin Abdul Aziz hal. 33. Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 20.
[14] Lihat: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 41-42.
[15] Ath-Thabaqat (5/257). Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 24.
[16] Menurut Mu'jam Lughah Al-Fuqahâ' panjang 1 hasta adalah 46,2 cm, sedangkan Al-Mu'jam Al-Wasîth 64 cm.
[17] Mausu’ah Fiqh Umar bin Abdul Aziz, karya Muhammad Rawwas Qal’aji. Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 25.
[18] Selengkapnya silahkan baca: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal.43-44.
[19] Tarikh al-Thabari (7/383). Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 27.
[20] Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/683) dan Sirah Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu Abdul Hakam hal. 28 (dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 28).
[21] HR. Muslim no. 1381. Lihat juga: Sahih Bukhari hadits no. 1883 dan 1884.
[22] Lihat: Tarikh al-Thabari (7/445) dan ath-Thabaqat, karya Ibn Sa’ad (5/335-338). Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 34-36.
[23] Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/657).
[24] Lihat kisahnya dengan versi yang berbeda-beda di ath-Thabaqat (5/340), Sirah Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu Abdul Hakam hal. 35 dan 36. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 37.
[25] Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 42-44.
[26] Lihat: Al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 59.
[27] Lihat: Siyar A'lam an-Nubala' (5/132).
[28] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar