Diceritakan oleh Dukain bin Sa’id Ad-Darimi seorang
penyair tersohor, dia berkata:
“Suatu ketika saya mendatangi Umar bin Abdul Aziz
sewaktu masih menjadi gubernur Madinah, aku diberi hadiah 15 ekor onta pilihan.
Setelah berada di tanganku, aku memperhatikannya, aku merasa
kagum melihatnya, aku menjadi khawatir membawanya pulang ke desaku
seorang diri, sedangkan aku merasa sayang untuk menjualnya.
Ketika aku masih dalam kebingungan, beberapa kawan
datang kepadaku. Mereka hendak kembali ke perkampunganku di Najad, maka
kau menawarkan diri sebagai kawan perjalanan. Mereka berkata, “Silakan,
kami akan berangkat malam ini, bersiap-siaplah untuk berangkat bersama
kami.”
Saya segera menjumpai Umar bin Adul Aziz untuk
berpamitan. Saat itu ada dua orang tua yang tak kukenal di majelisnya.
Tatkala aku hendak beranjak pulang, gubernur Madinah itu menoleh
kepadaku lalu berkata,
“Wahai Dukain,
sesungguhnya aku memiliki ambisi besar. Bila kau dengar
aku lebih jaya daripada keadaanku sekarang, datanglah kepadaku, aku
akan memberimu hadiah.” Aku berkata, “Datangkanlah saksi untuk janji
Anda itu.” Beliau berkata, “Allah adalah saksi paling baik.” Aku
katakan, “Saya ingin saksi dari makhluk-Nya.” Beliau berkata, “Baiklah,
kedua orang ini menjadi saksinya.”
Lalu saya menghampiri salah satu dari kedua Syaikh
tersebut, lalu aku bertanya, “Demi Allah, siapakah nama Anda
agar saya dapat mengenal Anda?” syaikh itu menjawab, “Aku Salim bin
Abdullah bin Umar bin Khaththab.” Aku menoleh kepada Umar bin Abdul Aziz
dan berkata, “Saya setuju dan percaya orang ini sebagai saksi.”
Kemudian aku bertanya kepada Syaikh yang satunya,
“Siapakah Anda?” dia menjawab, “Abu Yahya, pembantu amir.” Aku katakan,
“Saksi ini dari keluarganya, saya setuju.” Kemudian aku mohon diri
dengan membawa onta-onta itu ke kampung halamanku. Allah memberkahiku
sampai aku bisa membeli onta dan budak-budak yang lebih banyak.
Hari bergulir terasa cepat. Ketika aku berada di
gurun Falaj Yamamah, tiba-tiba datanglah berita wafatnya Amirul Mukminin
Sulaiman bin Abdul Malik. Aku bertanya kepada pembawa berita, “Siapakah
Khalifah penggantinya?” dia menjawab, “Umar bin Abdul Aziz.”
Demi mendengar berita itu, aku bergegas untuk
berangkat menuju Syam. Di Damaskus aku bertemu dengan Jarir yang baru
kembali dari tempat khalifah. Aku ucapkan salam kepadanya lalu bertanya,
“Dari manakah engkau wahai Abu Hazrah?”
Dia menjawab, “Dari khalifah yang pemurah kepada
fakir miskin dan menolak para penyair. Sebaiknya Anda pulang saja karena
itu lebih baik bagi Anda.” (karena aku adalah penyair). Aku katakan,
“Saya memiliki kepentingan pribadi yang berbeda dengan kepentingan
kalian semua.” Dia menjawab, “Jika demikian, terserah Anda.”
Aku terus menuju ke kediaman khalifah. Ternyata
beliau sedang berada di serambi, dikerumuni anak-anak yatim, para janda
dan orang-orang teraniaya. Ketika aku merasa tidak bisa menerobos
kerumunan itu, aku pun mengangkat suara:
“Wahai Umar nan bijak dan dermawan
Umar
nan sarat pemberian
Aku orang Qathn dari
suku Darim
Menagih hutang
saudara yang dermawan.”
Ketika itu Abu Yahya memperhatikan aku dengan
seksama kemudian menoleh kepada Amirul Mukminin dan berkata, “Wahai
amirul mukminin, saya adalah saksi dari orang dusun ini.” Beliau
berkata, “Aku tahu itu.” Beliau menoleh kepadaku dan berkata,
“Mendekatlah kemari, wahai Dukain.” Setelah aku berada di hadapannya,
beliau berkata lagi, “Ingatkah engkau kata-kataku sewaktu berada di
Madinah? Bahwa aku punya ambisi besar dan menginginkan hal yang lebih
besar dari apa yang sudah aku miliki.” Aku berkata, “Benar, wahai Amirul
Mukminin.”
“Sekarang aku telah mendapatkan yang tertinggi di
dunia, yaitu kerajaan. Maka hatiku menginginkan sesuatu yang tertinggi
di akhirat, yaitu surga dan berusaha meraih kejayaan berupa ridha Allah
subhanahu wa taala. Bila para raja menggunakan kerajaannya sebagai
jalan untuk mencapai kebahagiaan dunia, maka aku menjadikannya jalan
untuk mencapai kehormatan di akhirat. Wahai Dukain, aku tidak pernah
menggelapkan harta muslimin walau satu dinar atau satu dirham pun sejak
berkuasa di sini. Yang aku miliki tidak lebih dari 1000 dirham saja.
Engkau boleh mengambil separuhnya dan tinggalkanlah separuhnya untukku.”
Maka aku mengambil apa yang beliau berikan kepadaku.
Demi Allah, aku belum pernah melihat uang yang lebih berkah dari
pemberian itu."
sumber http://hikmahsalaf.blogspot.com/2011/12/umar-bin-abdul-aziz-raja-yang-bersahaja.html
http://alislamu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar