Umar bin Abdul Aziz, sang teladan

Penulis: Ridho Abdillah, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ushuluddin UIM  
Prolog
Di tengah keheningan malam, di bawah atap rumah yang tidak seberapa bagusnya, sayup-sayup terdengar suara seorang perempuan penjual susu kepada anak gadisnya, "Campurlah susu ini dengan air!", katanya. Serta merta sang anak pun menolak seraya bertanya: "Apakah ibu tidak takut kalau hal ini diketahui khalifahUmar bin Khattab? "Umar tidak akan tahu", jawab ibunya spontan. Dengan penuh keyakinan gadis itu pun menimpali, "Kalau pun Umar memang tidak mengetahuinya, apakah berarti Tuhan yang menciptakan Umar juga tidak mengetahuinya?”. Sang ibu pun terperanjat lalu terdiam seribu bahasa.
Di sisi bumi yang lain, di bawah remang-remang cahaya rembulan, di samping dinding rumah penjual susu, berdirilah seseorang yang sedari awal mendengarkan percakapan itu melalui celah-celah di dinding rumah, seseorang yang sangat berwibawa, Umar bin Khattab sang khalifah.

 Lalu bergegaslah Umar meninggalkan rumah itu seraya memberikan instruksi kepada asistennya, "Tandailah rumah ini!". Keesokan harinya ia segera memanggil Ashim, salah satu anak laki-lakinya seraya bertanya: "Maukah kamu aku nikahkan dengan seseorang yang sangat baik agamanya?", terbetik di benaknya anak gadis penjual susu. Tanpa pikir panjang lagi Ashim pun menjawab dengan penuh keyakinan, "Ya".[1]
Subhanallah! Pernikahan penuh barakah, dua insan yang sama-sama memiliki keimanan kokoh mengikrarkan janji lewat seuntai ikatan tali suci. Kelak terlahir dari keduanya tokoh panutan sejarah yang namanya takkan pernah usang di telan zaman.      
Perjalanan hidup mencatat seiring bergulirnya waktu tokoh-tokoh panutan dan teladan yang mengabadikan namanya dalam memori sejarah. Kebesaran nama mereka diakui di seantero penjuru dunia, dari ujung ke ujung. Ketokohan mereka dielu-elukan di setiap sudut belahan bumi. Ketenaran mereka selalu menjadi sumber inspirasi kesuksesan dari generasi ke generasi.
Berbicara tentang keteladanan, tidaklah ada kisah yang lebih mengagumkan dari pada kisah yang tercatat dalam sejarah Islam. Dengan tinta emas terukirlah nama-nama tokoh teladan yang layak dijadikan panutan dalam meniti hidup ini. Perjalanan hidup mereka terbimbing oleh kesucian wahyu; Al Qur'an dan Sunnah. Keteladanan mereka terbentuk di bawah kemuliaan Islam dan kesohoran mereka tergapai berkat naungan Islam. Merekalah termasuk golongan yang Allah Ikisahkan dalam al-Qur'an,
 )أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ (
Artinya: "Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat"(QS. Al-An'aam: 90).
Di antara deretan nama-nama besar itu, tersebutlah nama Umar bin Abdul Aziz, sang khalifah ke delapan dinasti Bani Umayah. Ketokohannya tidak diragukan lagi, keteladanannya membuat decak kagum setiap pembaca biografinya, lebih dari itu nama besarnya selalu digaungkan sebagai ikon keadilan setelah pendahulunya; Umar bin Khattab. Sungguh pribadi yang mengagumkan!
1.      Biografi Umar bin Abdul Aziz.
a.    Nasabnya.
Beliau adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abu al-'Ash bin Umayah bin Abdu Syam bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab; salah satu  keturunan Bani Umayah, yang tentu saja berdarah Quraisy. Beliau biasa dipanggil dengan sebutan Abu Hafs, sedangkan  di kalangan Bani Umayyah beliau lebih dikenal dengan al-Asyaj (si pemilik luka di wajah)[2]. Ayahnya; Abdul Aziz -seorang gubernur mesir pada pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan- adalah salah satu kandidiat yang dicalonkan untuk menduduki tampuk kekhalifahan sepeninggal ayahnya; Marwan bin  Hakam, namun ajal keburu menjemputnya. Sedangkan ibunya; Laila bintu Ashim bin Umar bin Khattab, biasa dipanggil dengan Ummu Ashim. Secara garis keturunan dari pihak ibu, beliau adalah cicit Umar bin Khattab.[3]
Dikisahkan ketika Abdul Aziz hendak melamar Laila, ia berkata kepada atasannya, "Kumpulkanlah untukku empat ratus dinar dari hartaku yang terbaik, karena aku ingin melamar seorang perempuan dari keluarga baik-baik". Singkat cerita, akhirnya Abdul Aziz pun menikahi Laila.[4]    
b.    Kelahirannya.
Beliau dilahirkan tahun 61 H di Madinah pada era pemerintahan khalifah Yazid bin Mu'awiyah, bertepatan dengan meninggalnya Maemunah istri Nabi Muhammad. Beliau menghabiskan masa kecilnya di Madinah Munawwarah dengan menimba ilmu dari para ulama yang hidup saat itu. Sehingga terkumpullah pada diri beliau keutamaan ilmu dan agama, disamping keturunan 'darah biru' dan gelimpangan materi.
Pasca meninggalnya sang ayah, beliau diminta untuk tinggal di Damaskus oleh khalifah Abdul Malik, paman beliau, lalu dinikahkan dengan salah seorang anaknya; Fatimah.[5]
c.     Wafatnya.
Beliau meninggal dunia hari jum'at di sepuluh hari terakhir bulan Rajab tahun 101 H pada umur 40 tahun, setelah memegang tampuk kekuasaan selama kurang lebih 2 tahun 5 bulan 4 hari, dikarenakan stroke yang menimpanya. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal dunia karena diracun para pejabat Bani Umayah. Wallahu A'lam.[6]
Beliau meninggalkan 3 orang istri: Fatimah bintu Abdul Malik bin Marwan, Lumais bintu Ali bin Haris, Ummu Utsman bintu Syu'aib bin Zayyan, dan 14 orang anak laki-laki: Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, Bakr, Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zayyan, Abdul Aziz, Abdullah,  serta 3 orang anak perempuan: Ummu Ammar, Aminah, Ummu Abdillah.[7]
Adz-Dzahabi berkomentar: "Beliau adalah seorang yang berperawakan dan berakhlak bagus. Memiliki kesempurnaan dalam berpikir, pintar menempatkan diri, jago lobi politik, menjunjung tinggi nilai keadilan dan berusaha mengaplikasikannya semaksimal mungkin, luas ilmunya, mumpuni dalam ilmu psikologi dan diberi kecerdasan luar biasa yang ‘dibungkus’ pemahaman yang menakjubkan. Di samping itu beliau juga dikenal sebagai ahli ibadah, memiliki akidah yang lurus, zuhud meskipun memegang tampuk pemerintahan dan lantang menyuarakan kebenaran meskipun sedikit yang mendukungnya. Para ulama mengkategorikan beliau sebagai salah satu al-Khulafa' ar-Rasyidun[8] dan ulama yang mengamalkan ilmunya.[9]     
2.       Kepribadian Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul Aziz adalah sosok yang berkepribadian kuat, bermental baja, mampu mencarikan solusi terbaik dari setiap problematika yang ada dan memiliki analisa yang tajam.
Di antara karakteristik yang dimilikinya:
a.    Rasa takut yang tinggi kepada Allah I.
Hal yang menjadikan Umar bin Abdul Aziz begitu fenomenal bukanlah karena banyaknya shalat dan puasa yang dikerjakan, tetapi karena rasa takut yang tinggi kepada Allah dan kerinduan akan surga-Nya. Itulah yang mendorong beliau menjadi pribadi yang berprestasi dalam segala aspek; ilmu dan amal. 
Dikisahkan pada suatu hari si Umar kecil menangis tersedu dan hal itu terdengar oleh ibunya. Lantas ditanyakan apa sebabnya. Beliau pun menjawab: "Aku teringat mati". Maka sang ibu pun menangis dibuatnya.[10]
 Pernah seorang laki-laki mengunjungi Umar bin Abdul Aziz yang sedang memegang lentera. "Berilah aku petuah!", Umar membuka perbincangan. Laki-laki itu pun berujar: "Wahai Amirul Mukminin[11]!! Jika engkau masuk neraka, orang yang masuk surga tidaklah mungkin bisa memberimu manfaat. Sebaliknya jika engkau masuk surga, orang yang masuk neraka juga tidaklah mungkin bisa membahayakanmu". Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun menangis tersedu sehingga lentera yang ada di genggamannya padam karena derasnya air mata yang membasahi.[12]   
b.    Wara'. [13]
Di antara bentuk nyata sikap Wara' yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz adalah keenganan beliau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi, meskipun hanya sekedar mencium bau aroma minyak wangi. Hal itu pernah ditanyakan oleh pembantunya, "Wahai khalifah! Bukankah itu hanya sekedar bau aroma saja, tidak lebih?". Beliau pun menjawab: "Bukankah minyak wangi itu diambil manfaatnya karena bau aromanya?".[14]
Dikisahkan suatu hari Umar bin Abdul Aziz pernah mengidam-idamkan buah apel. Tiba-tiba salah seorang kerabatnya datang berkunjung seraya menghadiahi sekantong buah apel kepada beliau. Lalu ada seseorang yang berujar: "Wahai Amirul Mukminin Bukankah Nabi r dulu pernah menerima hadiah dan tidak menerima sedekah?". Serta merta beliau pun menimpali, "Hadiah di zaman Nabi r benar-benar murni hadiah, tapi di zaman kita sekarang ini hadiah berarti suap".[15]   
c.     Zuhud.
Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang sangat zuhud, bahkan kezuhudan yang dimilikinya tidaklah mungkin bisa dicapai oleh siapa pun setelahnya. Kezuhudan yang mencapai level tertinggi di saat 'puncak dunia' berada di genggamannya.
Malik bin Dinar pernah berkata: "Orang-orang berkomentar mengenaiku, "Malik bin Dinar adalah orang zuhud." Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatanginya namun ditinggalkannya".[16]
Pernahkan terbetik di benak kita seorang kepala negara ketika berkeinginan menunaikan ibadah haji, ia tidak bisa berangkat hanya karena uang perbekalannya tidak cukup? Pernahkah terlintas di bayangan kita seorang bangsawan yang hanya memiliki satu buah baju, itu pun berkain kasar? Si zuhud Umar bin Abdul Aziz pernah mengalaminya![17]
d.    Tawadhu'.[18]
Keluhuran budi pekerti yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz sangatlah tinggi. Hal itu tercermin dari sekian banyaknya karakteristik yang menonjol pada diri beliau. Di antaranya adalah sikap Tawadhu'nya.
Suatu hari ada seorang laki-laki memanggil beliau, "Wahai khalifah Allah di bumi!" Maka beliau pun berkata kepadanya: "Ketika aku dilahirkan keluargaku memberiku nama Umar. Lalu ketika aku beranjak dewasa aku sering dipanggil dengan sebutan Abu Hafs. Kemudian ketika aku diangkat menjadi kepala negara aku diberi gelar Amirul Mukminin. Seandainya engkau memanggilku dengan nama, sebutan atau gelar tersebut aku pasti menjawabnya. Adapun sebutan yang barusan engkau berikan, aku tidaklah pantas menyandangnya. Sebutan itu hanya pantas diberikan kepada Nabi Daud u dan orang yang semisalnya", seraya membacakan firman Allah I,
) يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ (
Artinya: "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi". (QS. Shad: 26).[19]
Namun, ada yang lebih mengagumkan lagi! Kisah yang mencerminkan sikap Tawadhu' yang dimilikinya; Kisah Umar bin Abdul Aziz dengan seorang pembantunya.
 Pernah  suatu saat Umar bin Abdul Aziz meminta seorang pembantunya untuk mengipasinya. Maka dengan penuh cekatan sang pembantu segera mengambil kipas, lalu menggerak-gerakkannya. Semenit, dua menit waktu berlalu, hingga akhirnya Umar bin Abdul Aziz pun tertidur. Namun, tanpa disadari ternyata si pembantu juga ikut ketiduran. Waktu terus berlalu, tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz terbangun. Ia mendapati pembantunya tengah tertidur pulas dengan wajah memerah dan peluh keringat membasahi badan disebabkan panasnya cuaca. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun mengambil kipas, lalu membolak-balikkannya mengipasi si pembantu. Dan sang pembantu itu pun akhirnya terbangun juga, begitu membuka mata ia mendapati sang majikan tengah mengipasinya tanpa rasa sungkan dan canggung. Maka dengan gerak reflek yang dimilikinya ia menaruh tangan di kepala seraya berseru karena malu. Lalu Umar bin Abdul Aziz pun berkata menenangkannya: "Engkau ini manusia sepertiku! Engkau merasakan panas sebagaimana aku juga merasakannya. Aku hanya ingin membuatmu nyaman -dengan kipas ini- sebagaimana engkau membuatku nyaman".[20]
e.    Adil.
Di antara sekian karakteristik yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz, adil adalah sikap yang paling menonjol. Sikap itulah yang menjadikan nama beliau begitu familiar di telinga generasi setelahnya hingga hari ini. Keadilannya selalu digaungkan oleh para pencari keadilan, entah karena betul-betul ingin menapaktilasi jejaknya ataukah hanya sekedar kamuflase belaka. Yang terpenting adalah nama besarnya telah mendapat tempat di hati para penerus perjuangannya. Dan nama itu terukir indah dengan tinta emas di deretan para pemimpin yang adil, para pemimpin yang terbimbimg oleh kesucian wahyu; Al Qur'an dan Sunnah, para pemimpin yang dijuluki al-Khulafa' ar-Rasyidun. Dan sejarah Islamlah pengukirnya.
Al-Ajurri menceritakan sikap adil yang dimilikinya, beliau berujar: "Seorang laki-laki Dzimmi [21]dari pendudukHimsh[22] pernah mendatangi Umar bin Abdul Aziz seraya mengadu: "Hai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah". "Apa yang engkau maksud?", sergah Umar bin Abdul Aziz. "Abbas bin Walid bin Abdul Malik telah merampas tanahku", lanjutnya -saat itu Abbas sedang duduk di samping Umar bin Abdul Aziz-. Maka Umar bin Abdul Aziz pun menanyakan hal itu kepada Abbas, "Apa komentarmu?". "Aku terpaksa melakukan itu karena mendapat perintah langsung dari ayahku; Walid bin Abdul Malik", sahut Abbas membela diri. Lalu Umar pun balik bertanya kepada si Dzimmi, "Apa komentarmu?". "Wahai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah", ulang si Dzimmi. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun berkata: “Hukum Allah lebih berhak untuk ditegakkan dari pada hukum Walid bin Abdul Malik”, seraya memerintahkan Abbas untuk mengembalikan tanah yang telah dirampasnya.[23]
Kisah di atas hanyalah satu dari sekian puluh bahkan ratus sikap adil yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz. Kisah tentang keadilannya begitu mudah di dapati di buku-buku sejarah yang menulis biografinya. Kisah yang memenuhi lembar demi lembar buku para sejarawan. Sungguh sebuah kisah, siapa pun pembacanya pasti akan menggeleng-gelengkan kepala tanda takjub sambil menyunggingkan rasa masygul tanpa ragu,  diiringi air mata bahagia yang turut mengharukan suasana.
Baca lanjutannya di sini  http://supriyadi-teknologi.blogspot.com/2012/02/umar-bin-abdul-aziz-sang-teladan-2.html      
[1]  Selengkapnya silahkan baca: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu al-Jauzi hal. 10.
[2]Julukan tersebut bermula ketika suatu hari beliau masuk ke tambatan kuda, tiba-tiba seekor kuda menyepak wajah beliau. Lalu ayah beliau pun menyeka darah yang mengalir seraya bergumam, "Seandainya engkau dijuluki si Asyaj Bani Umayyah, sungguh bahagialah engkau". Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dan Ibnu Asakir, dari jalan Harun bin Ma'ruf, dari Dhamrah.
Umar bin Khattab t pernah berkata: "Kelak salah satu keturunanku akan ada yang memenuhi bumi ini dengan keadilan; seorang laki-laki yang di wajahnya ada bekas luka". Siyar A’lam an-Nubala (5/116).
[3] Lihat biografi beliau di kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir (12/676), Siyar A'lam an-Nubala', karya Adz-Dzahabi (5/114), Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu al-Jauzi hal. 9-10, dan Tarikh Khulafa' Bani Umayah, karya Dr. Nabih Aqil hal. 253.
[4] Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 10.
[5] Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah (12/680), Siyar A'lam an-Nubala' (5/117), Tarikh Khulafa' Bani Umayah hal. 253 danShofahatun Musyriqah Min at-Tarikh al-Islami, karya Dr. Ali Muhammad Shalabi hal. 396.
[6] Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah (12/719), Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 327 dan al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz, karya Dr. Ali Muhamad Shalabi hal.329.
[7] Lihat: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 314-315.
[8] Penamaan al-Khulafa' ar-Rasyidun ditujukan pada pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. As-Syafi'i mengatakan: "al-Khulafa'  ar-Rasyidun ada lima: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Lihat: Siyar A'lam an-Nubala' (5/131).
[9] Lihat: Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/696), Siyar A'lam an-Nubala' (5/120), dan Shofahatun Musyriqah Min at-Tarikh al-Islami hal. 400.
[10] Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/678) dan Siyar A'lam an-Nubala' (5/116).
[11] Gelar yang diberikan kepada sang khalifah. Kalimat ini berarti pemimpin kaum mukminin. Dalam kamus pemerintahanmodern lebih familiar dengan istilah presiden, perdana menteri, dst.
[12] Lihat: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 164.
[13] Menurut Lisanul-'arab dan al-Mu’jam al-WasithWara' secara bahasa berarti menahan dan menjauhkan diri dari perkara haram, kemudian mengalami perubahan makna menjadi menjauhkan diri dari perkara mubah.
[14] Lihat: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu al-Jauzi hal. 192.
[15] Lihat: Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 189.
[16] Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/699) dan Siyar A'lam an-Nubala' (5/134).
[17] Lihat: al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 70.
[18] Menurut al-Mu'jam al-Wasith  Tawadhu' berarti merendahkan diri.
[19] Sirah Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu Abdul Hakam hal. 46. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 71.
[20] Akhbar Abi Hafs, karya al-Ajurri hal. 82. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Azizhal.72.
[21] Non muslim (yahudi atau nasrani) yang tinggal di negara Islam (muslim) dan terikat perjanjian damai dengan pihak setempat dengan syarat membayar Jizyah (pajak jaminan keamanan) serta tunduk pada hukum Islam. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah (2/2487). (Dalam Maktabah Syamilah).
[22] Nama daratan yang membentang antara Damaskus dan Halab sepanjang 61 km dengan lebar 32 km. Dibangun oleh seorang yang bernama Himsh bin Mahr bin Jan bin Mukannaf. Lihat Mu'jam al-Buldan, Yaqut al-Hamawi (2/116). (DalamMaktabah Syamilah).
[23] Akhbar Abi Hafs hal. 58. Lihat: : al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 78.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar